Sabtu, 21 April 2012

Final Tokyo Dome


Author : Febryana

POV   : Hero jaejoong

BGM  : Kiss The Baby Sky-DBSK


Aku duduk di tepian panggung, memandang ke segala penjuru, sebuah tempat megah yang baru saja ditinggalkan oleh penontonnya kini terlihat sangat lengang, 3 jam yang lalu tempat ini bagaikan lautan merah, tangis dan jeritan penonton menghiasi tiap detik lagu dan musik yang kami bawakan, semua masih terpeta jelas di ingatanku, mereka semua masih mencintai kami.

"Hyung, ini__," Junsu datang menghampiriku, menyodorkan sebotol air mineral.

"Gomawo, Junsu-ah," aku mengambil botol itu dan meneguknya hingga tersisa separuh.

"Kau mau disini sampai kapan, Hyung?" Junsu menatapku simpatik, kurasa dia terlalu berlebihan tentang ini.

"Sampai kau berhenti memandangku seperti itu__" Aku nyengir.

Junsu terkekeh.

Kini tatapan Junsu menerawang jauh ke depan. "Kita kembali lagi kesini, Tokyo Dome, puncak dari segala impian dan harapan," sinar kebahagiaan bercampur kekecewaan terpancar dari kedua matanya.

Aku hanya bisa tersenyum miris. "Kau benar, Tokyo Dome, yang penuh kenangan__."

"Andai saja, kita kembali berdiri disini berlima, ini pasti akan menjadi yang terhebat." Junsu mengusap kedua matanya.

Aku menatap dongsaengku ini, selama ini mereka yang selalu menguatkanku disaat aku mencapai titik nadir dalam kisah pengkhianatan yang dibuat untuk memojokkkan kami, sekarang giliranku yang menguatkannnya.  Kini aku menggantikan peran Yunho, menjadi hyung bagi mereka.

"Kuatkan dirimu, Junsu-ah. Kita masih berlima, hanya terpisah sebentar, bukankah kau meyakininya?" Aku menepuk-nepuk punggungnya pelan. Tiba-tiba mataku terasa panas.

Junsu mengangguk setuju, masih menyeka air mata yang mengalir di pipinya.

Kulingkarkan tanganku di bahunya, "Yunho pasti tak mau melihatmu menangis seperti ini dan Changmin pasti akan mengejekmu sebagai paman-paman cengeng,"aku meringis jahil.

Junsu tersenyum tipis di sela-sela tangisnya.

"Maafkan aku, hyung__," Junsu menatapku dengan kedua matanya yang memerah.

"Hei, ini sudah yang keseratus kalinya." Aku mencoba terlihat seserius mungkin.

"Karena aku, kita__ Kau," ia kembali menyeka sebulir air mata yang menetes di pipinya.

Aku tersenyum, mencoba mengerti beban dan derita yang ia tanggung saat ini.

"Ternyata kau lebih cengeng daripada Yoochun," aku mengenggam erat tangannya, "Dengarkan aku Junsu-ah, semua ini pilihanku dan aku tak menyesalinya, jadi berhentilah menganggap dirimu sebagai orang yang patut disalahkan atas semua ini__."

"Tapi, aku tidak tahan melihatmu seperti ini terus-terusan, hyung." Ia menatapku simpatik, "Kau akan lebih bahagia berada bersama seperuh jiwamu__."

My other half? dia, orang yang paling bodoh sedunia, lubang besar yang ia tinggalkan di hati kami menyisakan kehampaan yang begitu menyakitkan. Dia akan menyesal membiarkan kami pergi seperti ini.

"Saat ini yang kubutuhkan adalah kalian, belahan jiwa yang mempercayaiku," Aku mengelus kepala dongsaengku ini. "Jadi jangan pernah mencoba berpikir untuk meninggalkanku, Arra?"

"Hei !!! Kalian sedang apa? Kenapa aku tidak diajak?!!!" Suara Yoochun menggema, aku menoleh ke belakang, mendapati dirinya berlari kearah kami.

"Hyung, kau pilih kasih__," Ia merangkul kami dari belakang, memasang tampang cemberut-memajukan bibir bawahnya, dasar kekanakan, batinku geli.

"Ya! Hentikan, wajahmu terlalu tua untuk memasang ekspresi seperti itu !" aku menjitak kepalanya pelan.

"Owh, Junsu-ah, kau menangis?" Ia menyadari ada yang aneh dari wajah Junsu, "Hyung! Apa yang kau lakukan pada Junsu-ku?!!!"

Junsu terkekeh.

Aku memutar bola mataku."Aish jinjja, jangan mulai lagi bertingkah sebagai YooSu couple di depanku," aku berdiri dari dudukku, meregangkan sendi-sendi yang mulai kaku.

"Kajja, ayo kita pulang," Aku menoleh kearah dua dongsaeng kesayanganku ini, Yoochun masih saja merapat pada Junsu, berbisik-bisik menanyakan apa yang baru saja terjadi pada kami berdua.

Kami meski cuma bertiga, tapi semakin dekat, aku memasukkan kedua tangan ke saku celanaku, dan melangkah meninggalkan panggung megah ini, Tokyo Dome, tempat dimana semua berawal dan berakhir.





Kalau memang aku orangnya (2)

Matamu tak bisa bohongiku, kau tersenyum tapi menangis. Bibirmu bergetar ketika mengeja namaku. Adakah lagi hal yang kau sembunyikan tentangku? Apakah kau begitu takut untuk mengingatku? Terkadang aku begitu malu di depanmu. Jangan marah karena aku sudah mencoba. Menjadi manusia yang lebih peka akan perasaan. Tapi aku hanya sebatas tahu, bukan bermaksud untuk menarikmu ke dalam duniaku.

***

Apa kau bisa membaca mataku? Bahkan bibirku bergetar ketika mengeja namamu.
Ya, kaulah orangnya...
Manusia paling tidak peka sejagad raya. Aku terlalu takut untuk mengingatmu. Bukan karena kau jauh dari jangkauanku. Namun, karena diammu dan karena kebodohanku yang tak hentinya menjadikanmu tokoh utama dalam kisahku.

***

Kita berdua bukan pengecut
Kita hanya ingin mencintai
Dalam diam, secara sederhana
Biarkan waktu membuatnya lebih indah
Memberikan perih kerinduan di sela penantian
Ya, memang kita orangnya
Dua orang bodoh yang bercerita tentang cinta



Jumat, 20 April 2012

Uri Minnie


POV    : U-Know Yunho

Author  : Febryana

***

"Hyung__"

"Emm, ada apa?" aku masih saja memusatkan perhatianku ke lembaran-lembaran kertas yang menumpuk di meja kerja, membalik satu per satu, menandatanganinya, lalu menumpuknya jadi satu.

"Kau tidak makan?" Changmin membungkukkan badannya, mengamati apa yang sedang kusibukkan.

Aku membetulkan letak kaca mataku, "Kau sendiri sudah makan?" tanyaku balik.

Changmin berdecak malas, "Hyung, berhentilah mengkhawatirkanku, aku sudah besar!" Ia melipat tangannya di depan dada.

Aku terkekeh, "Arraseo, uri minnie. Kajja, kita mau makan apa?" Kulingkarkan tanganku di bahunya.

"Emm, coba kita lihat," Ia meletakkan telunjuk di dagunya, memasang tampang berpikir, "Entahlah, aku tak punya ide," ia meringis jahil.

"Ya! Untuk apa kau menawariku makan?," Aku menjitak kepalanya pelan.

Aku tahu ia hanya mencoba mengingatkanku untuk tetap memperhatikan kesehatan diantara jadwal kami yang padat, tapi di sisi lain aku lebih mengkhawatirkan dirinya, matanya yang cekung, tulang pipinya yang menonjol, dan wajahnya yang pucat, itu semua cukup membuatku merasa sebagai Hyung yang tidak berguna.

"Kau mau makan apa? Kali ini aku yang masak," Aku tersenyum bangga. Ia menatapku ragu sekilas.

"Emm, baiklah, aku mau ddubokki," Ia tersenyum polos seperti anak kecil.

"Ya! Kau mau membunuh perutmu? Lihat pipimu yang tirus dan otot bisepmu yang sudah tak berbentuk itu."

"Ddubokki dan otot bisep tak ada hubungannya__," ia memutar bola matanya-malas.

"Kau mau membantah hyung-mu ini?," aku berkacak pinggang.

"Bilang saja kalau kau tak tahu cara memasaknya__," Changmin menggembungkan pipinya. Ia meringkuk diatas sofa, memeluk kedua kakinya, "Kalau Jae-hyung ada disini, kita tak kan ribut soal makanan."

Nama Jae keluar lagi dari mulutnya, aku hanya bisa tersenyum miris, selama ini Jae yang selalu memasak dan memanjakan kami dengan berbagai jenis makanan, ya, kalau saja ada Jae...

"Ok, akan kutunjukkan kalau aku lebih hebat dari orang itu!" Aku melipat lengan kemejaku sampai siku.

"Kau mau masak apa hyung?" ia berdiri dari duduknya.

"Ramen__," aku meringis jahil. Mau bagaimana lagi, cuma ramen yang bisa kubanggakan, benar-benar tak menyelesaikan masalah.

Changmin menatapku malas, lalu memilih bergelung di sofa, menutupi kepalanya dengan bantal.



















Senin, 16 April 2012

Without Words (3)


        Title      :   Without Words (3)

  POV  : Hero Jaejoong
 
 Author : Febryana P.W

BGM  : Don't Cry My Lover-DBSK

FF ini hasil kolaborasi with my oennie, yuridista,  part sebelumnya bisa dibaca disini , hope u enjoy it^^

***

Aku menghentikan mobil tepat di depan kedai kopi favoritku, Yoochun yang sedari tadi mengomel, melirikku sinis.

"Ayo turun," kataku sambil melepas seatbelt. Ia hanya cemberut, melipat tangannya di depan dada. "Siapa suruh kau ikut?" celetukku melihat tingkah kekanakannya.

"Hyung!" Ia melotot.

Aku tahu ia hanya mengkhawatirkan kesehatanku saat ini, berharap aku tidur di kamar dengan selimut tebal, dan menelan obat penurun panas, memangnya dia pikir aku anak kecil?
Pikiranku sedang penat sekali, aku hanya ingin keluar, melakukan rutinitas sabtu malamku, minum Americano, setidaknya itu bisa kusebut sebagai hiburan di tengah jadwal kami yang padat.

Aku memutar bola mataku, "Iya, iyaaa__ Ini yang terakhir kalinya, lekas turun," kataku sebelum menutup pintu mobil.

Aku mengecek jam tangan, pukul 02.10, saat yang tepat bagi selebritis untuk berkeliaran di tempat umum, kuharap wartawan-penguntit-menyebalkan itu sedang tidur pulas di kamarnya. Yoochun keluar dari mobil, menggosok-gosok kedua telapak tangannya yang kedinginan, aku merapatkan mantelku, kami bergegas masuk kedai.

"Awas ya Hyung kalau kau berlama-lama__," ancamnya.

Aku terkekeh.

***

Kami melangkah dan memasuki kedai yang hangat, seperti biasa, jam segini selalu sepi, aku mengarahkan pandangan ke meja favoritku, tepat disamping kaca besar yang berbatasan langsung dengan trotoar, tapi ada dua orang disana, duduk di kursiku dan kursinya, aku menelan ludah, aku mengenal mereka, cara duduk mereka, postur tubuh mereka, senyuman mereka, mereka__ Yunho dan Changmin, tanganku kebas, kurasakan sekujur tubuhku bergetar hebat.

"Hyung! Apa yang kau lihat?" Yoochun menepuk bahuku pelan.

Aku berusaha menggerakkan bibirku, tapi tak ada suara yang bisa kukeluarkan, tiba-tiba lidahku kelu,  ternyata tak mudah untuk mengeja nama mereka seperti dulu lagi.

Selama ini kami sepakat untuk tak membicarakan topik tentang mereka lagi dalam kehidupan kami bertiga, meskipun begitu, aku masih saja melanggarnya, tapi yang satu ini terlalu tiba-tiba, kini aku dipaksa untuk mengingat kembali kenangan itu, memutar kembali potongan adegan-adegan masa lalu, tentang kami berlima, tangis, tawa, ketulusan, pengkhianatan, dan perpisahan, entah mengapa mataku terasa panas.

Yoochun mulai menyadarinya, ia tahu apa yang kulihat dan mungkin juga apa yang kurasakan saat ini, ia tahu kalau Yunho dan Changmin ada disana, di tempatku yang biasanya, kurasa ia juga sama terkejutnya denganku.

Tak disangka, Changmin menoleh kearah kami, ia membelalakan matanya dan berdiri seketika dari tempat duduknya, membuat sedikit guncangan di meja mereka. Yunho yang sedari tadi memandang keluar kaca, menoleh ke Changmin yang tiba-tiba berdiri, aku bisa melihat kemarahan dari kedua mata magnae kami itu. Yunho mengikuti arah pandang Changmin, dan disaat itulah, kedua mata kami bertemu, sontak, aku menunduk, menghindari kedua mata yang sudah berhasil membuatku rindu dan marah disaat yang bersamaan.

Yoochun menggenggam tanganku, ia tahu apa yang kurasakan, ia akan mencoba menguatkanku saat ini.

"Ayo kita pulang, Changmin-ah," Yunho menarik lengan Changmin, mereka melangkah kearah kami, aku bisa melihat magnae ini memandang kami sebagai pengkhianat yang menjijikan.

"Jakkaman Hyung__," Yoochun menghalangi jalan Yunho ketika kami berpapasan. "Beginikah caramu menyapa teman lama?" Ia menatap Yunho marah.

Yunho menghentikan langkahnya, bahkan untuk menatap kami saja ia tak mau, ia masih saja memandang lurus kedepan, menghindari bertemu mata dengan kami berdua.

"Teman?" Changmin terkekeh, "Memangnya kalian masih pantas disebut teman? Setelah semua yang kalian lakukan pada kami__."

Aku memperhatikan magnae-ku ini, ia tumbuh menjadi pria yang sangat tampan sekarang, sayangnya penderitaan dan kebencian itu lambat laun membuat tubuhnya terlihat semakin menyedihkan. Tiba-tiba perasaan bersalah merayapi hatiku, seharusnya Hyung tak meninggalkanmu Changmin-ah, batinku getir.

"Changmin-ah, hentikan." Yunho memberikan tatapan jangan-mulai-lagi kepada Changmin. Itu cukup untuk membuatnya menutup mulut.

"Biarkan kami pergi Chun-ah," kali ini ia menatap mata Yoochun, menahan segala amarah di setiap kata-katanya.

"Kau boleh tak menganggap aku, Hyung. Tapi tidak untuk Jae Hyung__," Yoochun tak mau kalah. Aku hanya bisa menunduk, menggigit bibir bawahku.

"Sudahlah Chun-ah, biarkan mereka pergi__," kugenggam tangannya lebih erat lagi. Aku menatap mata Yoochun, memohon.

Yunho memutar bola matanya, ia memandangku dan aku balas memandangnya, kini aku berusaha mencerna apa yang ada di pikirannya, aku selalu seperti ini setelah perpisahan itu.

"Aku akan menganggapnya, asalkan dia tak muncul lagi di hadapanku." Ia menarik lengan Changmin, menghalau tangan Yoochun yang menghalangi jalannya, mereka melangkah keluar kedai.

Aku tertunduk, kata-kata Yunho meninju dadaku, meninggalkan persaaan sesak yang berubah perih, keyakinanku tercabik-cabik, aku terluka dan hatiku hancur. Kurasakan tubuhku bergetar hebat, jantungku berdegup kencang, aku meremas dadaku, berharap ini bisa mengurangi sakit yang kurasakan saat ini, mataku terasa panas, dan tiba-tiba air mata itu keluar begitu saja, aku membungkuk kesakitan, meringkuk di lantai.

Yoochun bersimpuh di depanku, mengulurkan tangannya untuk meraupku dalam pelukannya, semakin kencang tangisku, semakin kuat ia mengeratkan pelukannya, ia menepuk-nepuk punggungku pelan, berusaha meyakinkan kalau semua akan baik-baik saja.










Kamis, 12 April 2012

Lovely Hubby





Anyeonghaseyo!!!

Saya datang nih, bawa FF gaje, terinspirasi dari foto Jae diatas, kekeke. //Lebay.

Title      : Lovely Hubby
Cast     : Hero-Jaejoong as husband
              Anonim (bayangin diri kalian sendiri) as wife
Genre   : Romance
Author  : Febryana P.W
BGM    : You are My Melody-DBSK

Nah disini yang jadi wife-anonim, kenapa hayo? Penasaran ya? //Biasa aja, situ gak sah lebay juga kalee.
OK, walau kalian gak penasaran , tapi saya akan tetep kasih alasan. //Penting ya?

Berhubung saya takut Antis saya meningkat, atau ada yang bakal ngirim surat ancaman plus teror ke saya, dan bertekad untuk menggulingkan saya.//Emangnya presiden?

Jadi saya putusin pake anonim buat wife-nya Jae, kan gak lucu juga kalo saya taruh nama saya di daftar Cast : Yana as Jae’s Wife. Kekeke *Antis already rising...

Jadi buat para Jae’s lover, bayangin aja diri kalian sendiri yang jadi istrinya tuan tampan-pintar masak-dan manis yang satu ini, pasti deh senyum-senyum sendiri? Hehe.

Ok, hope u enjoy it^^. Oh, please comment yak. //Ni author maksa bget *plak.

***

PRAAAAANGGG !!!

Kali ini aku benar-benar berantakan, celemek penuh noda saos tomat, minyak diatas penggorengan yang mendesis-desis, ketel air yang mengeluarkan bunyi-bunyian seperti peluit, potongan-potongan sayuran yang berceceran di lantai, bau masakan yang gosong, dan yang paling parah, satu piring sudah berhasil kupecahkan. 

Dua jam ini apa yang sudah kulakukan? Aku sudah puluhan kali membuka buku resep yang kubeli seminggu yang lalu di subway, bahkan aku 100% yakin pada kata-kata si penjual -“Nona, saya jamin anda akan langsung jago masak setelah membaca buku ini.”- Kenyataannya? Tak ada satu pun masakan yang berhasil kubuat, atau lebih tepatnya, aku sudah berhasil menghancurkan dapur kesayangannya, tidaaak, aku meringkuk memegangi lututku, rasanya mau menangis saja.

Meski tanganku sudah pegal-pegal, tapi untungnya telingaku masih berfungsi dengan baik,kudengar pintu depan dibuka, dia pulang! Ia melangkah menuju dapur, refleks aku berdiri dan berlari ke ambang pintu, ia membelalakan matanya melihat penampilanku, kupaksakan untuk memasang senyum semanis mungkin di saat seperti ini.

“Ya Tuhan__, kau sudah pulang?” tanyaku, mencoba bersikap tenang.

Ia menjawab dengan anggukan singkat, matanya lalu menangkap keanehan yang terjadi di dalam dapur, aku masih saja mengangkat-angkat tangan sambil memasang berbagai pose untuk menghalanginya masuk.

 “Bau apa ini? Apa yang kau lakukan?” tanyanya curiga.

“Ah! Tidak ada, kau istirahat saja, bukankah kau baru saja pulang, kau pasti__,” aku mengapit lengannya, berusaha menyeretnya menjauh dari dapur.

“Tunggu sebentar,” ia memaksa untuk tetap masuk, aku membelalakan mata. Tidak ! Jangan!!! Pekikku dalam hati.

Selagi ia mengedarkan pandangannya ke semua sudut yang sudah kuhancurkan, aku berusaha mengeluarkan berbagai macam alasan dan pembelaan yang kurasa bisa membuatnya jadi lebih tenang, karena saat ini ia terlihat sangat terpukul menerima kenyataan yang ada di depan matanya. 

Ia menatapku dengan tatapan apa-yang-sudah-kau-lakukan? Aku mengigit ujung celemekku, berharap dia tidak marah ataupun mengusirku dari rumah.

“Maafkan aku__,” ucapku lirih, aku tertunduk merasa bersalah.

Ia menghela nafas kemudian.

“Baiklah__,” ia membuka jasnya lalu memberikannya padaku, “Ayo kita bereskan semuanya.”

***

Jae membalik daging asap itu dengan mudah, padahal tadi aku sudah mencobanya berkali-kali, tapi alhasil daging itu tidak mau terbalik dan berakhir dengan kata gosong. Ia juga memotong sayuran dengan tangkas, pisau itu menari-nari di tangannya, sedang tadi apa yang kulakukan? Menangisi bawang bombai yang sudah kucacah kasar, benar-benar konyol. 

Ia tak perlu buku resep, semua bahan sudah dihafalnya di luar kepala, setelah ini, lalu kesini, masukan ini, tambah ini, dan la-la-la, aku hanya bisa bertepuk tangan sambil berulang kali memujinya, aku berjanji lain kali akan mengambil buku catatan untuk menuliskan semua tahapan yang ia lakukan dengan sempurna. Kurasa ini lebih mudah dipahami, dibandingkan membaca sekumpulan buku resep menyebalkan itu.

Ia tersenyum kepadaku setelah menyicip kuah supnya dengan spatula, diambilnya sendok makan untuk menyiduk lebih banyak, meniupnya sebentar, lalu ia menyuapiku, ia menatapku ingin tahu, aku membulatkan mataku, ini benar-benar enak, kuacungkan kedua jempolku ke arahnya, ia tersenyum lega, manis sekali.

Jae yang terhebat, batinku bangga.

“Aku melakukan ini tidak cuma-cuma__,” celetuknya tiba-tiba.

“Hah__? Apa maksudmu?” Aku meliriknya, yang masih memutar-mutar spatula, kali ini diatas penggorengan. Ia tersenyum aneh, misterius.

Ia menunjuk pipinya lalu mendekatkannya ke wajahku.

Spontan, aku meninju pelan lengannya. “Ya! Apa yang kau lakukan?,” seketika itu pipiku memanas.

“Aish jinjja__. Kau ini ! Aku kan hanya minta sedikit imbalan, kenapa kau begitu pelit? Lihat apa yang sudah kulakukan untukmu sekarang?” Ia berkacak pinggang di depanku.

Aku mendelik, menggigit bibir, menimbang-nimbang, dan berakhir pada kesimpulan dia memang benar, aku sudah banyak merepotkannya. Tapi jantungku berdegup tak karuan saat ini, bahkan aku tak mampu melihat matanya.

Sambil mengangkat daging yang sudah matang, ia terus saja mengomel.

“Bukankah aku ini suami yang baik, tampan, pandai memasak, dan rajin menabung, memangnya apa yang kurang dariku? Seharusnya kau bersyukur, siapa lagi yang mau menikahi wanita yang takut ke dapur sepertimu, itu aku, hanya ak__.”

Aku menciumnya tepat di pipi, ia berhenti mengomel, dan membelalakan matanya, kali ini degup jantungku sudah layaknya marching band, rasanya ada sengatan listrik yang menjalar dari kaki hingga kepalaku, aku terlalu gugup dan malu untuk menatapnya.

Tiba-tiba ia menarikku kedalam pelukannya, tapi anehnya perasaan gugup itu mencair, diganti dengan perasaan hangat yang begitu menenangkan. 

“Terima kasih__. Aku akan berusaha menjadi istri yang lebih baik lagi,” ucapku lirih.

Jae mengangguk setuju, senyumnya mengembang.







Selasa, 10 April 2012

Funny Life (DBSK)



BGM : Summer Dream-DBSK

Yunho POV

Aku duduk menopang dagu di meja makan, mengamati Jae yang terlihat sangat bahagia memasak di dapur. Changmin sedang menyibukkan dirinya dengan tugas-tugas sekolah yang ia sebut sebagai penindasan, sedang Junsu__ kemana dia? Entahlah, bisa kupastikan ia baik-baik saja.

Aku memutar bola mataku ke arah Yoochun, yang sedari tadi duduk berhadapan denganku, kudapati dirinya menatapku sambil tersenyum-senyum seperti orang gila. Aku bergidik.

“Chun-ah, apa yang kau lihat?” tanyaku asal, agar ia menghentikan tingkahnya yang aneh itu.

“Kau suka kan, Hyung?” ia melirik Jae yang sedang sibuk di dapur. “Akui saja, aku adalah saksi hidup YunJae moment__,” ia melipat tangannya di depan dada sambil tersenyum bangga.

Aku berdiri lalu menjitak kepalanya, “Ya! Hentikan imajinasi kekanakanmu itu.”

Yoochun meringis kesakitan...

“Makanan datang __.” Jae datang membawa semangkuk besar sup ikan, tentunya dengan hiasan tomat dan daun bawang yang tertata rapi diatasnya. Kalau aku menghancurkan karyanya ini, dia pasti marah.

Changmin yang sedari tadi menunjukkan raut wajah murung mulai tersenyum penuh minat. Ia meninggalkan tumpukan tugas-tugasnya, lalu mengambil kursi di meja makan.

“Kemana Junsu?” Jae memutar kepalanya ke sekeliling, mencari-cari bocah yang sering menyendiri itu.

“Aku datang Hyung__,” Junsu bergegas turun tangga, hampir saja ia terjengkal.
Rupanya bau masakan Jae tercium sampai ke lantai atas, hebat juga.

“Ya! Chun-ah, kau tidak boleh merusak yang ini !” Jae memukul tangan Yoochun yang sudah siap menyiduk sup dari segala arah.

“Aaah, hyung__,” rengeknya.

Kami berlima berkumpul disini, makan bersama, menghabiskan sup bersama, bercerita bersama, tertawa bersama, aku yakin ini akan menjadi saat-saat yang berharga di dalam hidup kita, dan aku tak kan pernah melupakannya.

Malam Malam Menjengkelkan

Malam ini ditemani sinar rembulan, langit begitu terang, terlukis pesisir awan berarak di atas sana, lagi-lagi aku mencoba mengingat tentang kita, yang tak pernah bertegur sapa atau sekedar basa basi bertanya, kita sudah mati, begitu aku menyebutnya.

Kita memang begini adanya, sama-sama terlalu segan untuk memulai, kita canggung dalam dunia kita, meski aku sudah mencoba melumerkan suasana, tapi pada akhirnya semua kembali lagi ke awal, sepi, menyendiri.

Biarkan bulan dan langit malam tertawa mengejekku, toh aku memang pantas menerimanya, karena aku terlalu pengecut untuk mengatakan, nyatanya diriku sudah dipenuhi dorongan-dorongan sinting tentangmu, yang aku pun tak yakin darimana asalnya.

Aku tak mau tidur malam ini, mimpi yang kulewati di malam-malam penantian sudah membuatku muak, jangan coba merasukiku dari bawah alam sadar, aku benci dengan semua ini, dengan kenyataan bahwa diriku terlalu lelah untuk mengingatmu.

Seperti yang kubilang, aku dan kamu sudah mati, kita sudah mati, tapi perasaan gila ini tak mau dianggap mati,
menjengkelkan...

Kalau memang aku orangnya (1)



Aku terperangkap dalam waktu, setahun yang lalu, tepat di kursi taman ini, aku melihatmu berdiri di samping kolam, menyebar biji-bijian kepada merpati liar yang kelaparan. Aku rasa kau sudah gila, di musim dingin seperti ini masih saja keluar tanpa syal ataupun sarung tangan. Atau kita memang sama gilanya, memilih berada ditengah kesunyian, meninggalkan kehangatan perapian di dalam sana.

Hari ini, mungkin yang keseratus kalinya, aku duduk disini, di bangku taman ini, tapi tak ada kamu yang seperti biasanya, aku sudah melewati kelima puluh kali suasana seperti ini, sendiri dan ganjil. Pikiranku melayang saat pertama kalinya kau menyunggingkan senyum padaku dan aku hanya membalasnya singkat, begitu saja, lalu berlalu.

Hari ke-51, 52, 53 ...

Kau tak pernah datang lagi, awalnya aku kira kau sakit atau pergi ke luar kota untuk waktu yang lama, tapi ini sudah hari yang keseratus, tiba-tiba aku merasa khawatir, bukankah ini terlalu berlebihan, mengkhawatirkan seseorang yang tak pernah kau kenal?

Senja pun tiba, semburat jingga bercampur ungu menghiasi langit, lampu-lampu taman mulai menerangi jalan setapak yang kulewati tadi. Aku berdiri dari dudukku, melangkah lagi melewati jalanan batu yang lembab dengan semak murberry di samping kiri dan kanannya, mungkin dia akan datang besok, kataku dalam hati.

“Maaf__,” seseorang menepuk punggungku dari belakang.

Aku menegakkan kepalaku, mendapati dirinya berdiri di hadapanku, tiba-tiba sensasi kembang api bergejolak dari perut lalu naik ke dadaku, membuat jantungku berdegup tak berirama sesaat.

“Kau menjatuhkannya...,” ia mengulurkan sebuah buku yang kurasa aku mengenalinya, itu__

Aku menulis tentangnya di buku itu, dari hari pertama hingga terakhir kali aku melihatnya, semua tentangnya, bahkan aku baru sadar aku sudah memenuhi buku itu dengan orang yang sama, orang yang tak kukenal, tapi sudah begitu hebatnya mencuri perhatianku, tapi buku itu sudah lama hilang, dan sekarang- ironisnya, ia yang menemukannya, tanganku kebas.

Aku hanya tertunduk, entah malu ataukah takut, faktanya ia menemukan buku itu, sengaja atau tidak sengaja, pasti ia sudah membacanya, aku berdiam ditempatku sekarang, mati rasa.

“Kalau memang aku orangnya, aku akan sangat bahagia__.” Ia tersenyum kearahku.

Dan mulai saat itulah, kami memilih untuk meninggalkan kesunyian yang tanpa sadar telah membuatku menderita selama lima puluh hari penantian, pertemuan kali ini membuat hatiku terasa hangat, kurasa ini lebih baik dibandingkan mengurung perasaan dalam berlembar-lembar tulisan.

P.s : gara-gara Love in The Ice-nya DBSK, jadi lahir tulisan ini, itu lagu sumpah ya, mellow-dalem bgt maknanya * guling2 di kasur
Hope u enjoy it ^^

Without words (1)



BGM : Fallen Leaves-JYJ

Kali ini aku duduk sendiri di cafe ini, menyesap cappucino yang rasanya tak semanis dulu, ada yang salah dengan lidahku?

Bukankah kita sering menghabiskan waktu disini untuk sekedar mengobrol atau bertaruh siapa yang paling pandai menebak pikiran orang-orang diluar sana. Meskipun kau tahu kalau aku pasti akan kalah, tapi kau tetap saja meneruskannya.

Kali ini aku duduk di kursimu, tepat disamping kaca besar yang menjadi saksi bahwa kita adalah tamu setianya, kau sering melamun disini, memandang keluar, mengamati gerak-gerik orang yang melintas. Itu pun kalau aku tidak sedang mengomel karena merasa tidak dianggap.

Bukankah kau selalu begitu, terkadang sangat periang, terkadang juga bisa sangat pendiam, aku tahu kau lelah, dan kurasa lain kali aku akan lebih mentolerir kebiasaanmu yang satu itu.

Kali ini aku ingin menjadi sudut pandangmu, melihat apa yang kau lihat, mendengar apa yang kau dengar, bahkan merasakan apa yang kau rasakan.

Bukankah kita memang diciptakan dalam satu jiwa, tapi aku masih tak mengerti kenapa kau memilih untuk tak berada disampingku sekarang ini? Menikmati secangkir capuccino untukku dan americano untukmu, menu favorit kita.

Walaupun aku sudah mencoba berulang kali, berada dalam sudut pandangmu, mencerna pikiranmu, memahami peranmu, atau membuat diriku seperti orang gila yang kecanduan minum americano tiap sabtu malam, namun tetap saja aku tak menemukan jawabannya__.

Kenapa kau tak memilih berada disampingku?

Senin, 09 April 2012

Pesawat-pesawat kertas



Terbang tinggi menembus batas

Melampaui jejak antara dunia dan angkasa

Memisahkan kenyataan dan khayalan

Kukirimkan padamu

Bukan untuk mengganggu tidur lelapmu

Cuma ingin tahu, itu saja

Apa kau baik-baik saja disana?

Apa surga itu indah?

Kau tahu, hanya ini yang bisa kulakukan

Karena mustahil untuk melangkahi waktu

Tak mungkin untuk melawan takdir

Pesawat-pesawat kertas

Mereka membawa pesan dari hati yang kehilangan

Membawa duka dari yang ditinggalkan

Menjadi obat bagi rindu yang menyiksa

Menjadi jembatan kasat mata antara kita

Menjadi penghubung bagi cinta yang tak pernah terucap

Begitulah aku menyebutnya...

Sabtu, 07 April 2012

Lost (HoMin)



BGM : Wasurenaide - DBSK

“Super Junior menang lagi?” Changmin beranjak dari dapur setelah mendengar suara presenter Mnet yang berkoar-koar tentang kemenangan Super Junior. Ia memilih meninggalkan aktivitas memasaknya dan duduk di sofa bersamaku, menonton TV.

“Mereka hebat juga ya, Hyung__,” ada nada yang ganjil dari suaranya.

“Ehm__,” jawabku dengan anggukan singkat.

Aku tahu ia mencoba bahagia atas mereka, tapi ia tak bisa membohongiku, kenyataan bahwa bukan kami yang berdiri di panggung itu membuat dadaku sedikit sesak. Tak dipungkiri, Changmin pasti juga merasakannya.

Aku memencet tombol off dari remote yang sedari tadi kupegang, kusandarkan punggungku di sofa, kutengadahkan kepalaku, menatap langit-langit ruangan yang terasa begitu hampa.

Tiba-tiba kurasakan sesuatu yang panas mengalir di pipiku, aku menangis? Jung Yunho, sejak kapan kau jadi melankolis seperti ini? Aku mulai menyalahkan diriku, aku bukan Yunho yang dulu, aku tidak sekuat yang dulu, aku lemah... Kenyataan yang menyakitkan.

“Maafkan aku, Changmin-ah__,” kata-kata itu keluar begitu saja dari mulutku, saat ini hanya itu yang bisa mewakili semua kekecewaan dan rasa bersalahku.

Changmin mengusap kedua matanya, mencoba tersenyum, aku tahu ia akan berusaha menguatkanku saat ini, selalu begitu.

“Hyung, aku tak pernah menyesal berada di sampingmu. Jadi, berhentilah untuk minta maaf__.”

Missing



BGM : Vacancies for you – Park Yoochun (JYJ)

Yoochun POV

“Hyung, apa kau tidak makan?” Kuamati Jaejoong hyung yang sedari tadi hanya memainkan garpunya, menggulung-gulung ramen tanpa ada keinginan untuk makan.

“Hah!” ia tersadar dari lamunannya, mengerjap berkali-kali untuk mengembalikan kesadarannya.

“Apa yang kau pikirkan, hyung?” Aku meletakkan sumpitku, menatapnya serius.

Ia hanya diam, kembali menatap nanar ramen yang masih utuh di depannya.

“Kau merindukannya?” Aku tahu apa yang ia pikirkan saat ini, melihat hyungku ini begitu menderita, dadaku sesak seketika.

Ia menegakkan kepalanya, mencoba tersenyum, tapi semakin ia tersenyum, maka semakin jelas rasa rindu itu tergambar di kedua matanya.

...

“Aku tidak pernah serindu ini pada mereka__,” matanya terlihat berkaca-kaca.

Kugigit bibir bawahku, aku ingin mengatakan kalau aku juga merindukan mereka, bahkan ini sudah sangat menyakitkan, dua orang itu meninggalkan lubang besar dalam hati kami bertiga, menyisakan perasaan yang teramat hampa.

Saat ini yang harus kulakukan bukanlah membebani Jae hyung dengan segala rengekan bahwa aku sudah hampir gila ingin bertemu mereka, aku hanya ingin meringankan deritanya, rasa rindunya, kekecewaannya, dan segala sesuatu yang membuatnya terlihat begitu menyedihkan.

“Hyung, suatu saat, pasti, aku janji__. Kita akan bertemu mereka lagi.”

Kalau memang saya orangnya...

Jangan biarkan saya terperangkap dalam ekspektasi yang berlebihan, karena bila semua tak seperti yang saya bayangkan, maka kekecewaanlah pada akhirnya

Saya sudah lama bermain dalam imajinasi-imajinasi gila, mengharapkan sesuatu yang abstrak, atau bahkan sudah mencapai sempurna untuk tidak terwujud

Namun, bodohnya, saya tetap percaya dan melanjutkan untuk bertahan

Bisa dibilang saya sudah hampir gila dengan permainan bawah alam sadar yang menyelip di sela-sela mimpi tiap malam

Saya bukan terlalu takut untuk kembali, hanya saja rasa sakit itu selalu menghantui, menyisakan perih di ujung pengharapan

Saya rasa kamu pun tak kan mengerti apa yang saya katakan, untuk itu saya lebih memilih diam, biarkan saya membisu dalam dunia yang pemalu ini

Kalau memang saya orangnya, jangan hanya diam, kamu - katakanlah...

Minggu, 01 April 2012

Heaven Postman (Hero)



BGM : The Boy’s Letter – JYJ

Seseorang yang terpilih untuk kembali ke dunia, memperbaiki hidupnya, tak kan mengulangi kesalahan yang sama, dan tak ada lagi yang terluka.

Itu aku, sayangnya bukan dalam kehidupan nyata, dan saat ini aku masih hidup, tapi berlainan dunia denganmu, bukankah kita bisa diibaratkan seperti itu?

Kalau memang heaven postman itu ada, kuharap aku bisa menemukan kotak surat tua itu di tengah padang ilalang yang menghijau, ingin kukirimkan surat ke surga, bahwa aku tidak baik-baik saja. Aku hidup, tapi hati ini mati.

Karena bahkan untuk sekedar saling mengirim pesan pun kita tak bisa melakukannya seperti dahulu, ya benar, kita bukan terpisah, tapi sengaja dipisahkan. Apa kau juga akan selalu mendukung semua upaya perpecahan ini? Kenapa kau tak membuka hatimu? Apa kau takut?

Tapi lagi-lagi heaven postman pun tak kan membantu, karena salah satu dari kita belum mati, bukankah benar begitu?

Jadi... apa aku harus mati terlebih dahulu? Supaya aku bisa membuatmu membuka mulut?

Kurasa aku sudah mulai tak waras, kita punya banyak kenangan, tapi perlahan ini menyakitiku, karena aku terlalu peduli dan pada akhirnya aku yang banyak kehilangan.

Funny Life (DBSK)


BGM : Crazy Love – DBSK

Yunho POV

“Ya! Choikang Minchang, apa yang kau lakukan di dalam sana?!” Aku menggedor pintu kamar mandi berkali-kali sambil berteriak-teriak seperti orang gila.

“Jakkaman Hyung, kali ini aku benar-benar sakit perut,” ia menimpali dari balik pintu kamar mandi.

Jaejoong keluar dari kamarnya, mengacak-acak rambut sambil memicingkan matanya, kali ini ia terlihat seperti manusia normal tanpa polesan make up apapun.

“Kalian ribut sekali pagi ini__,” katanya datar sambil menguap sesekali.

“Ya! Kalian! hentikan bermain-main bola di ruang makan !” ia berkacak pinggang di depan dua dongsaeng gila itu, Yoochun dan Junsu.

“Salahkan Junsu. Dia yang memulainya.” Yoochun mengarahkan jarinya ke arah Junsu, sedang tatapannya masih saja tertuju pada bola yang berputar-putar di kedua kaki Junsu.

Jaejoong tertunduk lemas di kursi makan, menghela nafas sebentar, lalu menatap tajam kearahku, aku melirik dari sudut mataku, bergidik sebentar, lalu kembali mengetuk pintu kamar mandi, kali ini lebih pelan.

“Changmin-ah, cepat sedikit,” bisikku pelan ke pintu kamar mandi.

“Bisakah aku hidup tenang hari ini, jebal__,” ia menenggelamkan kepala dalam lipatan tangannya diatas meja makan.

Aku terkikik geli.

Meeting (YunJae)


BGM : You’re - JYJ

Aku sedang sibuk memencet keypad handphoneku, mengirim pesan singkat pada Junsu agar tak menungguku makan malam kali ini, selesai mengetik pesan kuputar kepalaku kesamping, aku melongok dari dalam jendela mobil, jikalau ada restaurant baru yang bisa kukunjungi disekitar sini, sayangnya hanya ada mini market 24 jam yang sudah pasti hanya ramen yang bisa kutemui di dalamnya, aku menggembungkan pipi, kecewa.

Aku terperanjat melihat seseorang namja berperawakan tak asing, menarik pintu mobilku kasar, lalu masuk tanpa ijin dan merebahkan dirinya di jok sampingku. Awalnya kukira dia seorang bandit yang mau menyabotase mobilku, tapi aku kenal siapa dia, ia orang yang kutunggu hampir sejam yang lalu. Ia duduk di jok depan berdampingan denganku, perlahan ia turunkan topi hitam yang menutupi hampir sebagian wajahnya. Ia menatapku dengan tatapan aku-berhasil-lolos, senyum lebarnya mengembang.

“Ayo jalan__,” perintahnya.

***

Di dalam mobil

“Kau sudah makan?” aku mengerem mobilku tepat ketika traffic light berubah warna menjadi merah.

“Apakah aku terlihat seperti orang yang sudah makan? Bukankah kau sudah hafal jadwal biasanya?” Ia memutar bola matanya ke arahku, kurasa ia tahu kalau aku hanya basa basi.

“Oke, aku tahu__,” aku mulai mengeluarkan handphone dari saku jasku.

“Ya! Bisakah kau berhenti menekan-nekan benda menyebalkan itu di depanku!” Ia merampas handphone itu dari genggamanku, aku ingin meneriakinya tapi kuurunkan niatku, ini bukan saatnya untuk bertengkar.

“Haaah__,” aku menghela nafas, “Berhentilah bersikap seperti anak kecil Yunho-ah, aku hanya mau membalas pesan Junsu.” Aku berusaha memberikan pengertian padanya.

Sepertinya ia tak mau mendengar penjelasanku, ia melepas bateray handphoneku, lalu memasukkan handphone dan bateray yang sudah terpisah itu kedalam saku jaketnya.

“Kau tahu__. Aku berusaha sangat keras untuk bisa kabur seperti ini, jadi bisakah kau lebih fokus, karena waktuku tak banyak, ok?” Ia melipat kedua tangannya di depan dada, kepalanya tengadah dan matanya terpejam, bersiap untuk tidur. Aku tak bisa menyangkal apa-apa lagi.

Aku hanya bisa memandangnya prihatin, aku tahu seberapa letihnya ia saat ini, mungkin kontrak budak itu sudah mulai mencekik kewarasannya. Dan ironisnya, tak ada hal yang bisa kulakukan untuk membantunya. Traffic light berganti warna hijau, kuinjak pedal gasku pelan.

“Yunho-ah, apa kau tidur?” aku sesekali melirik kearahnya sambil tetap memperhatikan jalan di depanku. Tapi tak ada jawaban. Baiklah, sepertinya kali ini aku benar-benar sudah membuatnya marah.

“Kau tahu? Tadi aku melihat mini market 24 jam ketika menunggumu, ini membuat ingatanku melayang ke masa itu.” Aku terkikik sebentar, “Hari-hari yang kita habiskan dengan makan ramen berdua, masa-masa sulit kita__.”

Sedetik, dua detik, lima detik...

“Tapi__, kurasa itu adalah ramen terlezat dalam hidupku,” timpalnya tiba-tiba. Aku mengangguk setuju. Ramalan lima detikku selalu berhasil, tiba-tiba aku merasa bangga pada diriku yang tahu apapun tentang namja pecemburu satu ini.

“Jae__,” ia menegakkan badannya.

“Emm?,” Aku meliriknya sekilas, lalu kembali mengarahkan pandanganku kearah mobil di depan yang menyalakan lampu sen kanannya.

“Bisakah kau kembali?”

Reflek, kuinjak rem mobilku. Aku terkejut mendengar pertanyaannya “kembali?,” kami sama-sama tahu apa maksud dari kata itu, dan aku tak sanggup untuk menjawabnya, tiba-tiba perasaan bersalah merayapi hatiku, membuka luka lama yang terlalu perih untuk kembali diingat.

Aku menatap matanya yang begitu sendu dan penuh harap, ia terlalu menyedihkan saat ini, aku memutar bola mataku, sebaiknya aku tak menatapnya sekarang, kuarahkan pandanganku jauh kedepan.

“Kurasa pembicaraan tentang ini sudah berakhir setahun yang lalu__,” jawabku.

Ia menghela nafas panjang, lalu keheningan merayap diantara kami, kami terlalu lelah untuk memulai pembicaraan, atau lebih tepatnya kami tak ingin saling menyakiti satu sama lain, lagi.

Ia membuka pintu mobil lalu melangkah keluar, ia membungkukan badannya dan menyerahkan handphone plus bateray, yang tadi ia kantongi dalam saku jaketnya, padaku.

“Baiklah__, lain kali kalau kita keluar, masakan ramen untukku.” Senyumnya mengembang, namun penuh kepahitan. Aku menatapnya sambil mengangguk kecil, mengiyakan permintaannya.

Lalu pintu mobilku ditutup.

Kusandarkan punggungku pada jok sejenak, kuhela nafasku yang berat, aku meremas handphone dan baterayku, dalam hati aku memaki diriku yang telah mengacaukan acara makan malam kali ini.