Kamis, 19 Mei 2011

Barangkali penting

Hari ni sya ingin curhat*ceile, waktu sya menulis ini bisa dipastikan bhwa otak sya mulai kacau dgn hafalan pasal pph,coba aj dibayangin ngapalin 19 jenis objek pajak,13 jenis objk pajak final, 13 jenis bukan objek pajak,idih ngeri pisaaan...

Trus saat ngapalin,perut keroncongan,mata mulai mengantuk,skrg sya mkir perut sama mata emg ada hubungany?

Saat ni trjdi dilema antara pilih istrahat plus muter lagu2 super junior,ato plih te2p brkutat dgn hafalan,*pilihan yg ckup berat(?)

kmren abs download lagu suju,aduuh... Kesengsem sma lagu one fine spring day,trus keinget wajah sungmin,btw yg nyanyi lagu ntu member yg mana y?suara ny terasa campuran sungmin ma ryeowook...*g penting

ke.gj.an.ku brtambh tdi malem,nyanyi2 lagu sm the ballad,jdulny miss u, agrhhh...itu lagu aduh bgus bgt,akirny kebayang wajah kyuhyun,*apaan coba? Heechul kemana?#hadeeh

Tapi brkat lagu itu,aq jdi bs nulis kisah pendek,bnar2 menginspirasi,kpn2 aq post lah hsil tulisanku #plak,*pede bgt ni anak

yah cukup sekian curhat kali ni,te2p sehat,te2p smangat,n te2p jalan2 lagi brsama wisata kuliner (=.=)?*orang aneh

kajja blajar lagi yuk,hohoi !!!

Selasa, 17 Mei 2011

Sebuah Cerpen Part 4

“Jadi penulis aja” ia memandangku dengan tatapan yakin
“Apa aku harus menurutimu?” aku masih saja menulis di buku catatanku, tak memperdulikan air mukanya yang mulai cemberut
“Geezz...aku menyesal memberikannya padamu”, ia membuang muka
Seakan punya telepati, aku dengan mudah membaca pikirannya, “Maksudmu, pena ini?”, aku mengangkat penaku dengan tatapan masih saja mengarah ke tulisan yang baru saja kubuat.
“Bukan...!!!” ia melipat kedua tangannya di depan dada dan bergumam kesal dan aku kembali menulis lagi
“Selesai...” aku meletakkan pena dan kertasku, kuputar bola mataku ke arahnya, “Aku akan jadi penulis hebat !!! makasih penanya” kataku mantap
Ia menyengir dan menganggukkan kepalanya.
***
Tidak !
Bukan begini caranya, bunuh diri adalah bodoh, mati konyol hanya karena masalah ini, gila, aku benar-benar gila, berpikir akan mengakhiri hidupku dengan terjun dari jembatan ini, aku mundur selangkah dari bibir jembatan, walaupun mereka tidak mencintaiku, tapi Allah SWT akan selalu mencintaiku, Ia akan melindungiku, kupegang pena dari Ais dengan erat, aku harap ia ada di tengah hujan ini bersamaku, menemaniku melewati ini semua, suara hujan terlalu keras, dan hujamannya mulai menyakiti tubuhku. Suara kaki berlari di atas genangan air mendekat ke arahku, samar tapi kemudian mengeras.
Ia menarik lenganku semakin menjauh dari bibir jembatan, tarikannya sangat kuat, hampir saja aku terjatuh.
“Gila kau !!!”, ia mengarahkan bagian payungnya ke atas kepalaku, bahkan ia tak sadar, ia juga sudah basah kuyup, apa yang ia lakukan percuma, batinku, aku menunduk melihat rok abu-abunya yang menggelap menyerap air hujan
“Kau....geezz...bodoh !!! Mau mati...?hik ”, aku memandang wajahnya, ia berantakan sekali, jilbabnya basah kuyup, wajahnya penuh air mata dan kekhawatiran, nafasnya tersengal seperti biasa, ia mencekat tangisnya
“Allah mencintaimu kawan...hik..” ia memelukku erat
Dia datang untukku
***
Aku duduk di samping jendela, membiarkan angin berhembus menerpa wajahku, tapi hati ini masih saja sakit, aku tutup mataku, kudengarkan suara jantungku, masih berdetak, Alhamdulilah, Ia memang mencintaiku
Pikiranku melayang ke rumah, apa yang mereka lakukan saat ini, setelah pagi itu, apa mereka mencariku, apa mereka menyesalinya?
Aku merasakan baju ini terlalu sempit untuk tubuhku, tapi biarlah, aku malas beranjak dari sini, aku malas meminta baju yang lain, bukankah ini sudah cukup, sudah cukup aku merepotkan keluarga ini, aku masih beruntung, Ais mau menampungku, seorang anak yang kabur dari rumahnya.
“Ini...” ia menyodorkan secangkir teh ke arahku
“Makasih” aku mengambilnya, kutiup uapnya, lalu keminum sedikit, hangat
“Jangan bilang ke mereka kalau aku ada disini” kataku spontan sebelum ia menanyakan segala sesuatunya lebih lanjut, kupandang matanya yang masih sembab
Ia menatapku dengan pandangan simpatik, aku memutar kepalaku lagi ke arah jendela, kuharap ia tahu maksudku, aku memang seperti ini, ia kenal aku, aku tak biasa merangkai kata-kata secara verbal untuk menggambarkan keadaanku saat ini, karena aku sudah biasa menulis, mencurahkan perasaanku dengan tulisan.
Benar, ia memang mengenal aku, Ais melangkah keluar, menutup pintu kamarnya pelan, dan tiba-tiba air mataku mengalir
***
“Cepat...El, pesawatnya tinggal sejam lagi !!!” ia membuka pintu kamarnya dengan kasar
“Tunggu...aduh apalagi ya?” aku mengecek semua tas kalau-kalau ada yang kulupakan
“Hei, sudah... perjalanan dari sini ke bandara itu lama, penerbangannya gak bakal ditunda hanya buat nungguin kamu !!!” ia menghentakkan kakinya berulang-ulang kali
“Agh...TIDAAKK !!!” aku panik, aku menoleh ke arah Ais yang sudah dari tadi berdiri dengan tidak tenang di ambang pintu
“Agh...” ia ikut kaget, “Apaan sih, bikin kaget aja? Cepetan !!!”, ia memutar matanya ke arah jam dinding, yang bunyi detikannya membuatku kesal
“Suratnya...surat dari Nanyang...ketinggalan di rumah !!! Gimana nih?” aku ingat, waktu kabur 3 hari yang lalu, aku tidak membawa apa-apa kecuali pena Ais, dan surat itu kuselipkan di buku catatan dalam tasku, bodoh.
“Geezz...nanti kita urus yang satu itu, ayo turun dulu !!!” ia menyambar tas koperku, “Iiish... berat banget ni !!!” ia mengangkatnya sendiri menuruni tangga, dan aku mengikutinya dari belakang, dengan 2 tas besar yang berusaha kujinjing di kedua tanganku dengan sekuat tenaga, langkahku gontai.
“Ayo anak-anak, taksi sudah datang !!!” ibu Ais mulai khawatir
Kami berkumpul di teras depan, melihat taksi yang memasuki halaman rumah, aku masih khawatir dengan surat itu, bagaimana aku bisa ke Nanyang, kalau suratnya saja tak terbawa, aku mulai menyalahkan diriku sendiri, pintu taksi terbuka, ada 2 orang yang keluar dari taksi, sepertinya ini bukan taksi yang kami pesan, aku menyipitkan pandanganku, kulihat 2 sosok wajah yang keluar dari pintu belakang taksi itu.
AYAH..IBU..pekikku dalam hati
Mereka datang? Mereka mencariku selama ini? Dan sekarang mereka menemukan aku, aku merasa seperti maling yang tertangkap basah, tapi entah kenapa, aku senang melihat mereka, rasanya rindu sekali, aku ingin berlari memeluk mereka, tapi.
Ayah dengan hem biru muda berjalan ke arah kami, dan ibu terlihat berbeda, ia berjilbab ! ia mengikuti langkah ayah dari belakang.
“Assalamualaikum...”, suara yang aku rindukan, kalau saja ini film, aku ingin memutar adegan ini, aku ingin mendengar salamnya lagi
“Waalaikumsalam...” Ais beserta ayah dan ibunya menjawab dengan ramah, tapi aku hanya tertunduk melihat sepatuku sambil menjawab salam dengan lirih
Tanpa kusadari, sepatu ayah sudah berada di depan pandanganku, ia membungkuk mengamati wajahku, aku berusaha menyembunyikan ekspresi apapun yang timbul dari air mukaku
“Kau melupakan sesuatu, Nak”, ia berdiri kembali ke posisi semula, kudongakkan kepalaku ke arah wajah ayah, ia mengeluarkan sesuatu dari saku hem-nya
“Surat dari Nanyang...”, ia mengangkat surat itu, aku terperanjat
“A-AYAH... !!!” aku cepat memeluknya, ia terhuyung sedikit ke belakang, aku menangis seperti anak kecil, benar-benar tangisan yang keras, saat ini aku tak peduli apapun, aku hanya ingin memeluknya, meluapkan kerinduanku, kekesalanku, dan kesedihanku selama ini, bau parfum ayah yang kurindukan, aku sadar bahwa aku tak bisa membenci mereka, mereka adalah orang tuaku, bagaimanapun sikap mereka, mereka tetap orang tuaku, mereka tetap mencintaiku.
Kulepaskan perlahan pelukan eratku dari ayah, aku memandang wajahnya, ia menangis dan mengeluarkan sapu tangan dari saku celananya, ia usap air mataku, dan aku masih saja menangis, kugigit bibir bawahku, aku mencekat tangisku, aku memandang wajah ibu, ia menangis tersedu, aku memeluknya erat, membiarkannya mengelus jilbab dan punggungku, sentuhan yang aku rindukan, aku rindu kalian. “Ma-afkan a-ku...”
***
“Halo..El? halo...halo..!!!”
“Geezz, iya aku dengar Is..”
“Wah...nyambung, Bu...” ia berbicara kepada ibunya yang mungkin berdiri disampingnya, aku terkekeh
“Eh...iya El, gimana kabarmu?” suaranya yang ceria memuatku rindu untuk menemuinya
“Aku? Sangat baik...kau sendiri?”aku tak sabar bercerita banyak padanya
Aku yang sekarang bersekolah disini, di negeri tetangga, suasana dan lingkungan baru, aku masih harus beradaptasi, menyesuaikan diri di lingkungan yang sudah hampir 1 bulan ini kutempati, tentu saja aku tak sendirian, Allah mengirim mereka bersamaku, kedua orang tuaku yang aku cintai, cinta-Nya membasahi kekeringan hatiku, cinta-Nya mengobati luka dan perihku. Benar kata Ais, “Allah mencintaimu kawan...”
selesai

Sebuah Cerpen Part 3

Aku mematut di depan cermin, memandang diriku yang memakai jilbab putih dari Ais, hem, tidak buruk, lumayan rapi untuk seorang pemula, tapi apa hatiku sudah yakin dengan perubahan ini, aku menggelengkan kepalaku, tidak, kuhalau perasaan ragu ini, kuyakinkan bahwa aku adalah seorang muslimah dan inilah kewajibanku, toh, memakai jilbab bukan akhir dari segalanya.
Kupandangi surat yang ada di atas meja riasku, surat dari Nanyang University, beasiswa untuk kuliah jurusan sastra disana, hatiku bahagia saat ini, muncul rasa bangga dalam diriku, sedikit lagi impianku akan tercapai, menjadi penulis hebat, mendunia, dan dikenal banyak orang, anganku terlalu berlebihan, batinku, tapi setidaknya ini adalah pintu gerbang menuju cita-citaku, aku bayangkan bagaimana kedua orang itu terkejut mendengar kabar baik ini, kuselipkan surat itu di dalam buku catatan kecilku lalu kumasukkan dalam tasku, dan pena dari Ais kuselipkan di saku bajuku.
Aku mematut diri lagi di depan cermin rias, mengelus jilbabku agar rapi, ok, aku siap untuk menjadi lebih baik, aku sambar tasku yang tergeletak di tempat tidur, aku melangkah ke lantai bawah.
“Pagi...,” aku menggeser kursi dan mendudukinya, kuletakkan tas, dan aku memandang mereka, sepertinya ada yang berbeda kali ini
Ayah tidak membaca koran, ia duduk dengan tenang di kursinya, ibu juga tidak berkutat dengan black berry-nya, ia sibuk mengoleskan selai kacang ke atas roti, ada yang aneh di pagi ini, kemana rutinitas membosankan yang selama ini aku benci?
“Pagi...” mereka berdua serentak menjawab, sepertinya jilbab ini membawa keberuntungan bagiku di pagi ini.
Aku sengaja menutup mulut setelah itu, menunggu bagaimana respon mereka terhadap perubahanku, kuarahkan tanganku untuk mengambil roti di atas meja, tapi sebelum aku berhasil mencapainya, ibu menyodorkan piring dengan roti selai di atasnya, aku membelalakan mata, apa ini? Mereka berubah? Aku mengambil piring itu dengan agak canggung, aneh rasanya, ibu menyiapkan roti selai untukku.
Aku mulai menggigit rotiku, kukunyah sebentar, aku merasa roti ini lebih enak dari biasanya, hah, mungkin aku bahagia saat ini, melihat mereka mulai memperhatikan diriku.
“Nak, kau pakai jilbab?” ayah memandangi kepalaku dan mulai mengamati penampilanku dari atas sampai bawah, “Dan...baju lengan panjang?”
“Hari ini memang ada pesantren kilat?” ibu ikut nimbrung mengarahkan pandangan herannya ke arahku
Aku berhenti mengunyah, kuambil segelas susu di samping piringku, dan kuteguk separuh gelas, aku siap untuk melayani pertanyaan mereka
“Bukan pesantren kilat, Bu. Aku memang berjilbab sekarang, ini hadiah dari Ais, aku ingin menjadi muslimah yang melaksanakan kewajibannya” jawabku dengan nada mantap
“Ais?...ehm...apa kau yakin?” ayah melontarkan pertanyaan dengan wajah ragu
“Hidayah untuk berjilbab bukan untuk ditunggu, tapi harus dijemput, Yah. Aku sudah baligh, lalu kapan lagi?” aku memandangi wajah mereka yang sepertinya kurang mendukung perubahanku ini
“Baiklah itu pilihanmu...” Ayah mulai memebenarkan posisi duduknya, “Nak, kami perlu bicara sesuatu padamu” ekspresi herannya lenyap berganti dengan wajah serius
Apa? Mereka mau berbicara padaku? Setelah sekian lama mereka mengacuhkanku, sekarang mereka ingin bicara padaku, perubahan besar, mungkin berkat jilbab ini, tapi muncul rasa ragu dalam hatiku, memangnya apa yang ingin mereka katakan dalam suasana serius ini, aku menarik kursiku mendekat bibir meja makan
“Bagaimana rencanamu selanjutnya?” ayah memandangku, aku kaget, ia menanyakan hal yang abstrak untuk kucerna, muncul banyak tafsiran jawaban di otakku, tapi aku binggung, dari pertanyaannya, memangnya apa yang harus dilanjutkan?
Ayah mengamati air mukaku yang kebingungan, ibu menyengol lengan ayah, ia lalu melanjutkan kalimatnya, “Ehm..maksud Ayah, kau sudah lulus, kemana kau akan melanjutkan belajarmu?”
“Eem...aku..” aku bingung mengatakan apa yang kuimpikan
Ibu menyela, ia mencondongkan dirinya ke arahku, “Kami ingin kau jadi dokter”
Aku menatap ibu dengan wajah kaget, lalu aku menoleh ke arah Ayah, “Atau jadi pengusaha?” Ayah menambahkan
Jadi demi ini mereka berubah, untuk mengarahkan impianku, untuk membuatku menjadi orang-orang super sibuk seperti mereka, hingga melupakan kebahagian anaknya, membiarkan anaknya tumbuh tanpa perhatian, semua ini bukan perubahan, mereka berbohong, mereka tidak berubah, masih sama seperti dulu, pagi ini sama saja dengan pagi-pagi yang menyebalkan sebelumnya
Aku menundukkan kepalaku, melihati roti selaiku yang belum habis aku makan, “Tidak...aku tidak mau” jawabku tegas
Mereka kaget mendengar jawabanku, ayah mencondongkan tubuhnya ke arahku, “Memang kenapa? Apa salahnya menjadi dokter atau pengusaha?”
Aku dalam kondisi emosi saat ini, mereka benar-benar tidak mengerti aku, mereka tidak mengerti apa impianku, bagaimana perasaanku, apa yang aku cita-citakan, mereka tak pernah menanyakan semua itu, bagi mereka pekerjaan lebih penting daripada keberadaanku, mereka tidak pernah tahu, aku menangis di setiap solat malamku, aku menangis untuk mereka, berharap Allah SWT menyadarkan mereka, bahwa aku adalah anak mereka, bahwa aku butuh kasih sayang mereka, aku tertekan dalam kondisi seperti ini, air mataku sudah menggantung di pelupuk mata
“Semua salah !!!” aku berdiri, mereka mendongak memandangku, aku mengepalkan kedua tanganku kuat, banyak kata-kata yang ingin kukatakan pada mereka, tapi aku sudah terbiasa berdiam diri, aku sudah terbiasa dengan perlakuan mereka padaku, aku sudah terbiasa menyimpan kesedihan dan kemarahanku, aku berdiri terpaku dengan air mata yang mengalir tak henti-hentinya, kugigit bibir bawahku “Eergh....”, aku berlari meninggalkan meja itu, kuusap air mataku, kuharap mereka menyadari apa yang kurasakan, bodoh, percuma, percuma. Aku berlari tanpa arah, aku hanya ingin menghindari rumah itu, ruangan itu, dan mereka. Benar-bebar pagi yang menyebalkan untuk kesekian kalinya.
Seperti orang gila, aku berlari tanpa henti, bayangan wajah mereka membuatku muak, migrainku kumat lagi, dan aku mulai memperlambat langkahku, kepalaku berat, rasa sakit itu menekan kulit kepalaku, rasanya seperti tercabik-cabik, aku sakit hati, aku benci semua ini, tahukah mereka, aku sakit dan muak menahan migrain ini, aku sakit Bu, aku sedih Yah, argh...Percuma.
Tetes hujan memukul-mukul tubuhku, bahkan aku tak sadar, aku sudah berlari di tengah hujan, kudongakkan kepalaku ke atas, langit mendung, awan hitam bergumpal-gumpal, mengeluarkan hujaman air hujan yang makin deras, aku berhenti, membiarkan hujan memukul-mukul tubuhku, membiarkan hujan menyakitiku, agar rasa sakit hatiku tak terasa lagi, agar rasa sakit di kepalaku tidak lebih sakit dari hujaman air hujan, hanya hujan ini yang bisa kuharapkan mengurangi perih yang kurasakan saat ini.
Aku berusaha membuka mata di tengah guyuran air hujan yang lebat, pandanganku kabur, sedikit-sedikit pandanganku kembali normal, kubiasakan mataku melihat di tengah guyuran hujan, aku memutar kepalaku ke sekeliling, aku kenal tempat ini, jembatan ini, aku baru sadar, kalau aku berdiri di tempat ini, tempat favoritku, hatiku yang mengarahkan aku ke tempat ini.
Aku berdiri menggigil di depan jembatan ini, antara sadar dan tidak sadar, sepertinya hujan terlalu keras menghujam kepalaku, bunyinya berdentum keras memukul-mukul sekujur tubuhku, migranku kumat lagi, geezz...
Aku melongok ke bawah, airnya deras, aku pasti bisa langsung hilang, pikirku bodoh, pasti tak ada yang menemukan aku, dan mereka akan menyesal karena telah melakukan semua ini padaku, mereka anggap aku ini patung?
Ayo...ayo...lakukan !!!
Aku melangkah mendekati bibir jembatan, kutangkupkan tanganku di depan dada, kurasakan jantungku masih berdenyut, meski tak berirama, sakit, benar-benar sakit, aku tak tahan dengan semua ini, bertahun-tahun aku merasakan perih ini, aku bisa mengakhirinya sekarang, di tempat ini, di tempat yang kusukai, tapi ada yang mengganjal, di sakuku, ada sesuatu.
Pena !

Sebuah Cerpen part 2

Sudah hampir sejam aku menunggunya disini, tempat favorit kami berdua, keramaian dan kesibukan kota Bogor membuat waktu begitu cepat lenyap, tapi bila aku berada di jembatan ini, aku merasakan waktu berhenti sejenak, membiarkan aku merasakan kelegaan yang sewajarnya kurasakan, pohon-pohon trembesi masih berdiri kokoh di kedua sisi jembatan, daun-daunnya menguapkan embun pagi yang basah, udara sejuk dan segar membuat penaku menari-nari di atas kertas, banyak yang ingin kutuangkan dari imajinasiku yang mulai penuh saat ini, tapi tanganku tak secepat pikiranku, gemuruh air sungai membuatku merasa nyaman terhindar dari kebisingan jalan raya di seberang sana, aku menghentikan gerakan penaku dan mendongak ke arah langit, cerah sekali, biru yang begitu cerah bercampur putih seperti selimut raksasa, dengan silau sinar mentari di balik awan, aku mulai menyipitkan mata, sungguh mengecewakan, mataku tak kuat menahan kilau pemandangan seindah itu, aku kembali menggerakkan penaku lagi.
“Hah..hah..maaf..huuf,” ia membungkuk memegangi lututnya, nafasnya tersengal-sengal
“Heem..sadar gak sih, ini jam berapa?” aku masih menulis, tatapanku tak lepas dari pena yang menari-nari ditanganku
“Ok..” ia mengatur nafasnya agar berirama wajar, “Biar aku jelaskan, sebe...”
Aku memotong kata-katanya, “Ayo..!!” sebelum ia mulai mengoceh dengan berbagai alasan untuk membuatku simpatik, aku masukkan pena dan kertasku ke dalam tas dan melangkah meninggalkannya
“Heh..? tunggu !!! El...pelan dikit napa sih?” ia berlari kecil mengejarku
Aku duduk di bawah pohon trembesi di salah satu sisi jembatan, memandanginya yang berlari dengan langkah kecil ke arahku, gadis berjilbab itu Ais, sahabat terbaikku saat ini, ia mendekat dan duduk di sampingku dengan nafas yang masih tersengal.
“Kenapa kakimu pendek sih?” kulirik dia dengan wajah sinis
“Hah...maksudmu?” ia masih saja sibuk mengusap keringat di wajahnya
“Kalau saja kakimu panjang, kau bisa berjalan mengimbangiku, dan mungkin kebiasaan telatmu bisa diobati” aku mendongak ke arah atas, pandanganku liar mencari jika ada sarang burung di ranting pohon ini.
“Geezz...” ia memasukkan sapu tangan ke saku bajunya, “Kalo begitu, tanyakan obat pemanjang kaki pada ibumu, ia dokter kan?”, ia memandangku dengan wajah penuh harap dan senyum pepsodent-nya
“Agh..Percuma...” aku menoleh ke arahnya, ia masih saja tersenyum lebar penuh harap “Hentikan senyum pepsodent itu”
Ais memang orang yang bisa tahan dengan sifatku yang tempramen, itulah yang membuatku senang bersahabat dengannya, ia tidak pernah marah dengan segala sifatku yang dingin, kaku, dan cuek, itulah kelebihan Ais, sudah 3 tahun berjalan, dan aku sadar hanya dia saat ini yang betul-betul mau mendengarkan aku berbicara.
Ia memoncongkan kedua bibirnya, menatapku dengan mata menyipit. Aku menghela nafas, dan beralih ke tasku, kuambil selembar kertas di dalamnya, ia menghentikan ekspresi wajah ngambeknya dan mulai membuka mata lebar-lebar ke arah kertas itu.
“Ini...” aku memberikan kertas itu tanpa menoleh ke arahnya
“Eh...apa ini?” ia mengambil lalu membaca lembaran itu, “Kepada Ellifa...” matanya terbelalak dan secepat kilat ia menoleh ke arahku
“Keren kan?”aku menatapnya dengan rasa sombong
“Excellent !”, ia menyambar tanganku dan menggoyangnya keatas, kebawah, kekanan, kekiri dengan sekuat tenaga,“Aaaah, El....kau memang hebat, excellent..excellent..excellent !!!”
“Geezz...” aku tertawa setengah melihat respon spontannya
Aku memenangkannya, lomba cerpen tingkat nasional, betul-betul hari yang membahagiakan, berada di tempat dan saat yang kusukai, bersama sahabat terbaikku juga, aku bisa tertawa lepas, melenyapkan beban berat yang menggantung di hatiku, perasaan bahagia yang ringan dan menyenangkan.
Aku membuka kedua telapak tanganku dan kuarahkan ke wajah Ais, “Ehm...?”
“Apa?” ia memandangku heran, ia mengangkat satu alisnya, “maksudmu...?”
“He’em...he’em...he’em”, aku menganggukkan kepalaku tiga kali, aku yakin ia tahu apa yang kumaksud
Ia menghela nafas dan mulai mengeluarkan sesuatu dari tasnya, “Hah...kalo masalah hadiah sih kau tak pernah lupa...” ia memberikan padaku kotak kecil berbentuk persegi panjang dengan kertas kado merah yang membungkus rapi benda di dalamnya.
Aku mengamati kotak itu, aku ketuk-ketuk lalu aku goncangkan sedikit
“Hei kawan, kau pikir aku akan memberimu bom? Ayo buka !!!” ia menangkupkan kedua tangannya di depan dada dan mencondongkan tubuhnya ke arahku
Aku membuka bungkusnya perlahan-lahan, aku tahu ia akan marah jika aku merobek kertas kado merah yang membungkus kotak itu, perlu waktu yang agak lama untuk membukanya dengan sistem hati-hati. Aku memejamkan mata dan kukeluarkan benda di dalam kotak persegi panjang itu. Halus.
Aku membuka mata, “Jilbab...?” pandanganku beralih ke Ais dan kembali ke jilbab yang ada di peganganku lagi
“Kaget ya?...wanita hendaknya menjaga kesucian dirinya, dan jilbab inilah yang akan memberikan perlindungan bagimu, karena aku menyayangimu, dan aku ingin kau juga dilindungi olehNya, aku memberikan ini untukmu, kau tahu maksudku kan? Aduh susah banget sih bilangnya...Gini...maksudku...”
Belum selesai ia menjelaskan, aku bersegera memeluknya, air mataku sudah mengumpul di ujung mata, aku ingin menangis, ini hadiah yang ia berikan padaku, ini hadiah yang penuh ketulusan, ini hadiah yang penuh perhatian, ini hadiah yang terbaik, tentu saja dari sahabat terbaikku, aku senang verada disaat ini, tempat ini, dan suasana ini.
“Makasih kawan...” Aku menangis dan ia menepuk-nepuk pundakku