Selasa, 17 Mei 2011

Sebuah Cerpen Part 4

“Jadi penulis aja” ia memandangku dengan tatapan yakin
“Apa aku harus menurutimu?” aku masih saja menulis di buku catatanku, tak memperdulikan air mukanya yang mulai cemberut
“Geezz...aku menyesal memberikannya padamu”, ia membuang muka
Seakan punya telepati, aku dengan mudah membaca pikirannya, “Maksudmu, pena ini?”, aku mengangkat penaku dengan tatapan masih saja mengarah ke tulisan yang baru saja kubuat.
“Bukan...!!!” ia melipat kedua tangannya di depan dada dan bergumam kesal dan aku kembali menulis lagi
“Selesai...” aku meletakkan pena dan kertasku, kuputar bola mataku ke arahnya, “Aku akan jadi penulis hebat !!! makasih penanya” kataku mantap
Ia menyengir dan menganggukkan kepalanya.
***
Tidak !
Bukan begini caranya, bunuh diri adalah bodoh, mati konyol hanya karena masalah ini, gila, aku benar-benar gila, berpikir akan mengakhiri hidupku dengan terjun dari jembatan ini, aku mundur selangkah dari bibir jembatan, walaupun mereka tidak mencintaiku, tapi Allah SWT akan selalu mencintaiku, Ia akan melindungiku, kupegang pena dari Ais dengan erat, aku harap ia ada di tengah hujan ini bersamaku, menemaniku melewati ini semua, suara hujan terlalu keras, dan hujamannya mulai menyakiti tubuhku. Suara kaki berlari di atas genangan air mendekat ke arahku, samar tapi kemudian mengeras.
Ia menarik lenganku semakin menjauh dari bibir jembatan, tarikannya sangat kuat, hampir saja aku terjatuh.
“Gila kau !!!”, ia mengarahkan bagian payungnya ke atas kepalaku, bahkan ia tak sadar, ia juga sudah basah kuyup, apa yang ia lakukan percuma, batinku, aku menunduk melihat rok abu-abunya yang menggelap menyerap air hujan
“Kau....geezz...bodoh !!! Mau mati...?hik ”, aku memandang wajahnya, ia berantakan sekali, jilbabnya basah kuyup, wajahnya penuh air mata dan kekhawatiran, nafasnya tersengal seperti biasa, ia mencekat tangisnya
“Allah mencintaimu kawan...hik..” ia memelukku erat
Dia datang untukku
***
Aku duduk di samping jendela, membiarkan angin berhembus menerpa wajahku, tapi hati ini masih saja sakit, aku tutup mataku, kudengarkan suara jantungku, masih berdetak, Alhamdulilah, Ia memang mencintaiku
Pikiranku melayang ke rumah, apa yang mereka lakukan saat ini, setelah pagi itu, apa mereka mencariku, apa mereka menyesalinya?
Aku merasakan baju ini terlalu sempit untuk tubuhku, tapi biarlah, aku malas beranjak dari sini, aku malas meminta baju yang lain, bukankah ini sudah cukup, sudah cukup aku merepotkan keluarga ini, aku masih beruntung, Ais mau menampungku, seorang anak yang kabur dari rumahnya.
“Ini...” ia menyodorkan secangkir teh ke arahku
“Makasih” aku mengambilnya, kutiup uapnya, lalu keminum sedikit, hangat
“Jangan bilang ke mereka kalau aku ada disini” kataku spontan sebelum ia menanyakan segala sesuatunya lebih lanjut, kupandang matanya yang masih sembab
Ia menatapku dengan pandangan simpatik, aku memutar kepalaku lagi ke arah jendela, kuharap ia tahu maksudku, aku memang seperti ini, ia kenal aku, aku tak biasa merangkai kata-kata secara verbal untuk menggambarkan keadaanku saat ini, karena aku sudah biasa menulis, mencurahkan perasaanku dengan tulisan.
Benar, ia memang mengenal aku, Ais melangkah keluar, menutup pintu kamarnya pelan, dan tiba-tiba air mataku mengalir
***
“Cepat...El, pesawatnya tinggal sejam lagi !!!” ia membuka pintu kamarnya dengan kasar
“Tunggu...aduh apalagi ya?” aku mengecek semua tas kalau-kalau ada yang kulupakan
“Hei, sudah... perjalanan dari sini ke bandara itu lama, penerbangannya gak bakal ditunda hanya buat nungguin kamu !!!” ia menghentakkan kakinya berulang-ulang kali
“Agh...TIDAAKK !!!” aku panik, aku menoleh ke arah Ais yang sudah dari tadi berdiri dengan tidak tenang di ambang pintu
“Agh...” ia ikut kaget, “Apaan sih, bikin kaget aja? Cepetan !!!”, ia memutar matanya ke arah jam dinding, yang bunyi detikannya membuatku kesal
“Suratnya...surat dari Nanyang...ketinggalan di rumah !!! Gimana nih?” aku ingat, waktu kabur 3 hari yang lalu, aku tidak membawa apa-apa kecuali pena Ais, dan surat itu kuselipkan di buku catatan dalam tasku, bodoh.
“Geezz...nanti kita urus yang satu itu, ayo turun dulu !!!” ia menyambar tas koperku, “Iiish... berat banget ni !!!” ia mengangkatnya sendiri menuruni tangga, dan aku mengikutinya dari belakang, dengan 2 tas besar yang berusaha kujinjing di kedua tanganku dengan sekuat tenaga, langkahku gontai.
“Ayo anak-anak, taksi sudah datang !!!” ibu Ais mulai khawatir
Kami berkumpul di teras depan, melihat taksi yang memasuki halaman rumah, aku masih khawatir dengan surat itu, bagaimana aku bisa ke Nanyang, kalau suratnya saja tak terbawa, aku mulai menyalahkan diriku sendiri, pintu taksi terbuka, ada 2 orang yang keluar dari taksi, sepertinya ini bukan taksi yang kami pesan, aku menyipitkan pandanganku, kulihat 2 sosok wajah yang keluar dari pintu belakang taksi itu.
AYAH..IBU..pekikku dalam hati
Mereka datang? Mereka mencariku selama ini? Dan sekarang mereka menemukan aku, aku merasa seperti maling yang tertangkap basah, tapi entah kenapa, aku senang melihat mereka, rasanya rindu sekali, aku ingin berlari memeluk mereka, tapi.
Ayah dengan hem biru muda berjalan ke arah kami, dan ibu terlihat berbeda, ia berjilbab ! ia mengikuti langkah ayah dari belakang.
“Assalamualaikum...”, suara yang aku rindukan, kalau saja ini film, aku ingin memutar adegan ini, aku ingin mendengar salamnya lagi
“Waalaikumsalam...” Ais beserta ayah dan ibunya menjawab dengan ramah, tapi aku hanya tertunduk melihat sepatuku sambil menjawab salam dengan lirih
Tanpa kusadari, sepatu ayah sudah berada di depan pandanganku, ia membungkuk mengamati wajahku, aku berusaha menyembunyikan ekspresi apapun yang timbul dari air mukaku
“Kau melupakan sesuatu, Nak”, ia berdiri kembali ke posisi semula, kudongakkan kepalaku ke arah wajah ayah, ia mengeluarkan sesuatu dari saku hem-nya
“Surat dari Nanyang...”, ia mengangkat surat itu, aku terperanjat
“A-AYAH... !!!” aku cepat memeluknya, ia terhuyung sedikit ke belakang, aku menangis seperti anak kecil, benar-benar tangisan yang keras, saat ini aku tak peduli apapun, aku hanya ingin memeluknya, meluapkan kerinduanku, kekesalanku, dan kesedihanku selama ini, bau parfum ayah yang kurindukan, aku sadar bahwa aku tak bisa membenci mereka, mereka adalah orang tuaku, bagaimanapun sikap mereka, mereka tetap orang tuaku, mereka tetap mencintaiku.
Kulepaskan perlahan pelukan eratku dari ayah, aku memandang wajahnya, ia menangis dan mengeluarkan sapu tangan dari saku celananya, ia usap air mataku, dan aku masih saja menangis, kugigit bibir bawahku, aku mencekat tangisku, aku memandang wajah ibu, ia menangis tersedu, aku memeluknya erat, membiarkannya mengelus jilbab dan punggungku, sentuhan yang aku rindukan, aku rindu kalian. “Ma-afkan a-ku...”
***
“Halo..El? halo...halo..!!!”
“Geezz, iya aku dengar Is..”
“Wah...nyambung, Bu...” ia berbicara kepada ibunya yang mungkin berdiri disampingnya, aku terkekeh
“Eh...iya El, gimana kabarmu?” suaranya yang ceria memuatku rindu untuk menemuinya
“Aku? Sangat baik...kau sendiri?”aku tak sabar bercerita banyak padanya
Aku yang sekarang bersekolah disini, di negeri tetangga, suasana dan lingkungan baru, aku masih harus beradaptasi, menyesuaikan diri di lingkungan yang sudah hampir 1 bulan ini kutempati, tentu saja aku tak sendirian, Allah mengirim mereka bersamaku, kedua orang tuaku yang aku cintai, cinta-Nya membasahi kekeringan hatiku, cinta-Nya mengobati luka dan perihku. Benar kata Ais, “Allah mencintaimu kawan...”
selesai

Tidak ada komentar:

Posting Komentar