Selasa, 17 Mei 2011

Sebuah Cerpen Part 3

Aku mematut di depan cermin, memandang diriku yang memakai jilbab putih dari Ais, hem, tidak buruk, lumayan rapi untuk seorang pemula, tapi apa hatiku sudah yakin dengan perubahan ini, aku menggelengkan kepalaku, tidak, kuhalau perasaan ragu ini, kuyakinkan bahwa aku adalah seorang muslimah dan inilah kewajibanku, toh, memakai jilbab bukan akhir dari segalanya.
Kupandangi surat yang ada di atas meja riasku, surat dari Nanyang University, beasiswa untuk kuliah jurusan sastra disana, hatiku bahagia saat ini, muncul rasa bangga dalam diriku, sedikit lagi impianku akan tercapai, menjadi penulis hebat, mendunia, dan dikenal banyak orang, anganku terlalu berlebihan, batinku, tapi setidaknya ini adalah pintu gerbang menuju cita-citaku, aku bayangkan bagaimana kedua orang itu terkejut mendengar kabar baik ini, kuselipkan surat itu di dalam buku catatan kecilku lalu kumasukkan dalam tasku, dan pena dari Ais kuselipkan di saku bajuku.
Aku mematut diri lagi di depan cermin rias, mengelus jilbabku agar rapi, ok, aku siap untuk menjadi lebih baik, aku sambar tasku yang tergeletak di tempat tidur, aku melangkah ke lantai bawah.
“Pagi...,” aku menggeser kursi dan mendudukinya, kuletakkan tas, dan aku memandang mereka, sepertinya ada yang berbeda kali ini
Ayah tidak membaca koran, ia duduk dengan tenang di kursinya, ibu juga tidak berkutat dengan black berry-nya, ia sibuk mengoleskan selai kacang ke atas roti, ada yang aneh di pagi ini, kemana rutinitas membosankan yang selama ini aku benci?
“Pagi...” mereka berdua serentak menjawab, sepertinya jilbab ini membawa keberuntungan bagiku di pagi ini.
Aku sengaja menutup mulut setelah itu, menunggu bagaimana respon mereka terhadap perubahanku, kuarahkan tanganku untuk mengambil roti di atas meja, tapi sebelum aku berhasil mencapainya, ibu menyodorkan piring dengan roti selai di atasnya, aku membelalakan mata, apa ini? Mereka berubah? Aku mengambil piring itu dengan agak canggung, aneh rasanya, ibu menyiapkan roti selai untukku.
Aku mulai menggigit rotiku, kukunyah sebentar, aku merasa roti ini lebih enak dari biasanya, hah, mungkin aku bahagia saat ini, melihat mereka mulai memperhatikan diriku.
“Nak, kau pakai jilbab?” ayah memandangi kepalaku dan mulai mengamati penampilanku dari atas sampai bawah, “Dan...baju lengan panjang?”
“Hari ini memang ada pesantren kilat?” ibu ikut nimbrung mengarahkan pandangan herannya ke arahku
Aku berhenti mengunyah, kuambil segelas susu di samping piringku, dan kuteguk separuh gelas, aku siap untuk melayani pertanyaan mereka
“Bukan pesantren kilat, Bu. Aku memang berjilbab sekarang, ini hadiah dari Ais, aku ingin menjadi muslimah yang melaksanakan kewajibannya” jawabku dengan nada mantap
“Ais?...ehm...apa kau yakin?” ayah melontarkan pertanyaan dengan wajah ragu
“Hidayah untuk berjilbab bukan untuk ditunggu, tapi harus dijemput, Yah. Aku sudah baligh, lalu kapan lagi?” aku memandangi wajah mereka yang sepertinya kurang mendukung perubahanku ini
“Baiklah itu pilihanmu...” Ayah mulai memebenarkan posisi duduknya, “Nak, kami perlu bicara sesuatu padamu” ekspresi herannya lenyap berganti dengan wajah serius
Apa? Mereka mau berbicara padaku? Setelah sekian lama mereka mengacuhkanku, sekarang mereka ingin bicara padaku, perubahan besar, mungkin berkat jilbab ini, tapi muncul rasa ragu dalam hatiku, memangnya apa yang ingin mereka katakan dalam suasana serius ini, aku menarik kursiku mendekat bibir meja makan
“Bagaimana rencanamu selanjutnya?” ayah memandangku, aku kaget, ia menanyakan hal yang abstrak untuk kucerna, muncul banyak tafsiran jawaban di otakku, tapi aku binggung, dari pertanyaannya, memangnya apa yang harus dilanjutkan?
Ayah mengamati air mukaku yang kebingungan, ibu menyengol lengan ayah, ia lalu melanjutkan kalimatnya, “Ehm..maksud Ayah, kau sudah lulus, kemana kau akan melanjutkan belajarmu?”
“Eem...aku..” aku bingung mengatakan apa yang kuimpikan
Ibu menyela, ia mencondongkan dirinya ke arahku, “Kami ingin kau jadi dokter”
Aku menatap ibu dengan wajah kaget, lalu aku menoleh ke arah Ayah, “Atau jadi pengusaha?” Ayah menambahkan
Jadi demi ini mereka berubah, untuk mengarahkan impianku, untuk membuatku menjadi orang-orang super sibuk seperti mereka, hingga melupakan kebahagian anaknya, membiarkan anaknya tumbuh tanpa perhatian, semua ini bukan perubahan, mereka berbohong, mereka tidak berubah, masih sama seperti dulu, pagi ini sama saja dengan pagi-pagi yang menyebalkan sebelumnya
Aku menundukkan kepalaku, melihati roti selaiku yang belum habis aku makan, “Tidak...aku tidak mau” jawabku tegas
Mereka kaget mendengar jawabanku, ayah mencondongkan tubuhnya ke arahku, “Memang kenapa? Apa salahnya menjadi dokter atau pengusaha?”
Aku dalam kondisi emosi saat ini, mereka benar-benar tidak mengerti aku, mereka tidak mengerti apa impianku, bagaimana perasaanku, apa yang aku cita-citakan, mereka tak pernah menanyakan semua itu, bagi mereka pekerjaan lebih penting daripada keberadaanku, mereka tidak pernah tahu, aku menangis di setiap solat malamku, aku menangis untuk mereka, berharap Allah SWT menyadarkan mereka, bahwa aku adalah anak mereka, bahwa aku butuh kasih sayang mereka, aku tertekan dalam kondisi seperti ini, air mataku sudah menggantung di pelupuk mata
“Semua salah !!!” aku berdiri, mereka mendongak memandangku, aku mengepalkan kedua tanganku kuat, banyak kata-kata yang ingin kukatakan pada mereka, tapi aku sudah terbiasa berdiam diri, aku sudah terbiasa dengan perlakuan mereka padaku, aku sudah terbiasa menyimpan kesedihan dan kemarahanku, aku berdiri terpaku dengan air mata yang mengalir tak henti-hentinya, kugigit bibir bawahku “Eergh....”, aku berlari meninggalkan meja itu, kuusap air mataku, kuharap mereka menyadari apa yang kurasakan, bodoh, percuma, percuma. Aku berlari tanpa arah, aku hanya ingin menghindari rumah itu, ruangan itu, dan mereka. Benar-bebar pagi yang menyebalkan untuk kesekian kalinya.
Seperti orang gila, aku berlari tanpa henti, bayangan wajah mereka membuatku muak, migrainku kumat lagi, dan aku mulai memperlambat langkahku, kepalaku berat, rasa sakit itu menekan kulit kepalaku, rasanya seperti tercabik-cabik, aku sakit hati, aku benci semua ini, tahukah mereka, aku sakit dan muak menahan migrain ini, aku sakit Bu, aku sedih Yah, argh...Percuma.
Tetes hujan memukul-mukul tubuhku, bahkan aku tak sadar, aku sudah berlari di tengah hujan, kudongakkan kepalaku ke atas, langit mendung, awan hitam bergumpal-gumpal, mengeluarkan hujaman air hujan yang makin deras, aku berhenti, membiarkan hujan memukul-mukul tubuhku, membiarkan hujan menyakitiku, agar rasa sakit hatiku tak terasa lagi, agar rasa sakit di kepalaku tidak lebih sakit dari hujaman air hujan, hanya hujan ini yang bisa kuharapkan mengurangi perih yang kurasakan saat ini.
Aku berusaha membuka mata di tengah guyuran air hujan yang lebat, pandanganku kabur, sedikit-sedikit pandanganku kembali normal, kubiasakan mataku melihat di tengah guyuran hujan, aku memutar kepalaku ke sekeliling, aku kenal tempat ini, jembatan ini, aku baru sadar, kalau aku berdiri di tempat ini, tempat favoritku, hatiku yang mengarahkan aku ke tempat ini.
Aku berdiri menggigil di depan jembatan ini, antara sadar dan tidak sadar, sepertinya hujan terlalu keras menghujam kepalaku, bunyinya berdentum keras memukul-mukul sekujur tubuhku, migranku kumat lagi, geezz...
Aku melongok ke bawah, airnya deras, aku pasti bisa langsung hilang, pikirku bodoh, pasti tak ada yang menemukan aku, dan mereka akan menyesal karena telah melakukan semua ini padaku, mereka anggap aku ini patung?
Ayo...ayo...lakukan !!!
Aku melangkah mendekati bibir jembatan, kutangkupkan tanganku di depan dada, kurasakan jantungku masih berdenyut, meski tak berirama, sakit, benar-benar sakit, aku tak tahan dengan semua ini, bertahun-tahun aku merasakan perih ini, aku bisa mengakhirinya sekarang, di tempat ini, di tempat yang kusukai, tapi ada yang mengganjal, di sakuku, ada sesuatu.
Pena !

Tidak ada komentar:

Posting Komentar