taken from: http://images5.fanpop.com
"Kak, udah ah, capek!" teriakku,
nafasku tersengal sembari kupegangi lututku yang mulai linu-linu.
Ia menghentikan langkahnya lalu berbalik,
"Yaelah, baru juga tiga putaran, dasar lemah."
“Seputaran aja udah serasa keliling Monas, kalau
gak gegara Kakak, amit-amit dah sampe tiga putaran,” cibirku.
“Kog gara-gara saya?” dia mulai mengeluarkan
tampang pura-pura-polos-dan-gak-ngerti.
Aku sudah sangat hafal dengan responnya yang
seperti itu, bahkan untuk ajakan jogging yang super gak jelas di siang bolong
yang gerahnya minta ampun. Dan ini kali terparah setelah ajakannya buat naik
bianglala lima kali putaran, cuma biar bisa ngelihat genteng kosannya yang
habis dicat warna ijo, ya kali emang bisa?
“Agrrh, terserah, yang penting saya mau duduk.”
Kami duduk di bangku taman, dipayungi dedaunan
trembesi, aku mengelap peluh di keningku, kulirik dia yang tengah duduk sambil
mengibas-ibaskan tangannya.
“Eh, sebentar,” dia mengeluarkan sebuah botol
kecil lalu mengocoknya perlahan. Dan untuk kesekian kalinya aku membatin,
apalagi yang akan diperbuat orang ini.
“Main gelembung sabun, yuk,” dia meringis tanpa
dosa.
Aku tercengang, nih orang bener-bener gak bisa
ditebak apa maunya, mana ada mahasiswa semester akhir jogging siang bolong di tengah
kota terus abis itu main gelembung-gelembung sabun yang ditiup pake kawat,
terus kejar-kejaran gitu nangkap gelembung, yang lain pada istirahat makan
siang, yang ini malah mainan gelembung sabun, ide gila.
“Kog bengong?” Ia menyodorkan botol itu ke
tanganku.
Aku ragu menerimanya, “Anu, ini seriusan, Kak?” bahkan
suaraku pun terdengar bergetar tak siap menerima kenyataan untuk ide gila yang
satu ini.
Tiba-tiba tawanya meledak, nah loh, aku sempat
curiga kalau sistem saraf ini orang agak keganggu.
“Kamu kog gugup gitu sih? Gak lah, becanda doang.”
Aneh, dia tak pernah semudah itu membatalkan ide
gilanya, kalau pun batal pasti perlu tawar menawar dulu antara kita berdua, dan
itu gak mudah, aku menang lawan dia aja bisa dihitung pakai jari tangan.
“Kak, kenapa?” aku menatapnya heran.
Seperti tahu kalau aku akan mencercanya dengan
sejuta pertanyaan, ia pun berusaha menghindari mataku, memilih menerawang ke
langit, “Maksudmu?” Ia menghela nafas, “Saya cuma sedang malas saja,”
tambahnya.
“Malasnya bukan gegara panas kan?” aku mencoba
mencari celah kejelasan.
“Haha, ya gak lah, masa seorang Dirgantaru
Abyassa takut sama panas, sama Bu Situmorang aja berani.”
Aku terkekeh geli mendengar nama dosen terkiller
di fakultas kami disebutnya, ya, Kak Dirga memang dikenal sebagai satu-satunya
mahasiswa semester akhir yang berani adu argumen dengan Bu Situmorang, masalah
sepele sih, tapi cukup untuk membuat mereka jadi musuh bebuyutan.
“Ati-ati, Kak, bisa-bisa gak dilulusin lo
skripsinya, haha,” ledekku.
Ia tersenyum, “Kalau saya lulus, saya bakal gak
bisa ketemu kamu lagi,” kali ini nadanya dalam dan rendah.
Meski begitu, seperti biasa, kupu-kupu itu mulai
menggelitik perutku lagi, sebentar lalu kuatasi, untungnya aku sudah terlatih di
saat seperti ini, “Ceilah, segitu sedihnya, palingan juga bakal ketemu lagi di
sekitaran kampus,” jawabku santai.
“Semoga.”
Bukan jawaban itu yang kukira akan keluar dari
mulutnya, biasanya dia akan tertawa atau pura-pura menangis, kali ini beda, kesannya
dia akan benar-benar pergi, jauh, dan tak bisa menemuiku lagi. Kemudian
keheningan menggantung di atas kami dan aku mulai khawatir.
Aku cukup tahu ada sesuatu yang berbeda dalam
pertemuan kali ini, tapi aku tak mau tahu apa yang membuatnya berbeda, bukan
karena tak peduli, karena hanya saja aku takut kalau kenyataan yang sebenarnya
tak bisa kuterima, jadi aku memilih untuk diam, seperti yang selama ini
kulakukan, diam untuk berdamai dengan perasaan.
“Sab, balik yuk, udah sore nih,” ia bangkit dari
duduknya sambil melihat jam tangan yang melingkar di tangan kirinya.
Aku pun berdiri dan ia mulai melangkah.
“Kak, tunggu!” jantungku berdegup tak beraturan,
susah payah aku menahan agar kalimatku tak bergetar, dan entah kenapa dari
sekian juta kata yang bersliweran di kepalaku, malah ini yang keluar “Ini…kita
mainan gelembung sabun dulu ya?” tanganku yang menggengam botol itu menggantung
di udara.
Dalam hati, seribu kali aku menyumpah, aku yang
terkenal kalem dan gak suka neko-neko, sejak kapan ketularan ngeluarin ide gila
kayak dia? Bahkan aku tak mampu melihat wajahnya. Mungkin sekarang dia juga tak
mengira kalimat itu akan keluar dari mulut seorang Sabbiya Kiranna.
“Okey,” Ia meng-iya-kan.
Aku melihatnya berjalan ke arahku, senyumnya mengembang
dan sekali lagi berhasil membuat hatiku mencelos, syukurlah Tuhan, bukan sebuah
penolakan.