Selasa, 17 Mei 2011

Sebuah Cerpen part 2

Sudah hampir sejam aku menunggunya disini, tempat favorit kami berdua, keramaian dan kesibukan kota Bogor membuat waktu begitu cepat lenyap, tapi bila aku berada di jembatan ini, aku merasakan waktu berhenti sejenak, membiarkan aku merasakan kelegaan yang sewajarnya kurasakan, pohon-pohon trembesi masih berdiri kokoh di kedua sisi jembatan, daun-daunnya menguapkan embun pagi yang basah, udara sejuk dan segar membuat penaku menari-nari di atas kertas, banyak yang ingin kutuangkan dari imajinasiku yang mulai penuh saat ini, tapi tanganku tak secepat pikiranku, gemuruh air sungai membuatku merasa nyaman terhindar dari kebisingan jalan raya di seberang sana, aku menghentikan gerakan penaku dan mendongak ke arah langit, cerah sekali, biru yang begitu cerah bercampur putih seperti selimut raksasa, dengan silau sinar mentari di balik awan, aku mulai menyipitkan mata, sungguh mengecewakan, mataku tak kuat menahan kilau pemandangan seindah itu, aku kembali menggerakkan penaku lagi.
“Hah..hah..maaf..huuf,” ia membungkuk memegangi lututnya, nafasnya tersengal-sengal
“Heem..sadar gak sih, ini jam berapa?” aku masih menulis, tatapanku tak lepas dari pena yang menari-nari ditanganku
“Ok..” ia mengatur nafasnya agar berirama wajar, “Biar aku jelaskan, sebe...”
Aku memotong kata-katanya, “Ayo..!!” sebelum ia mulai mengoceh dengan berbagai alasan untuk membuatku simpatik, aku masukkan pena dan kertasku ke dalam tas dan melangkah meninggalkannya
“Heh..? tunggu !!! El...pelan dikit napa sih?” ia berlari kecil mengejarku
Aku duduk di bawah pohon trembesi di salah satu sisi jembatan, memandanginya yang berlari dengan langkah kecil ke arahku, gadis berjilbab itu Ais, sahabat terbaikku saat ini, ia mendekat dan duduk di sampingku dengan nafas yang masih tersengal.
“Kenapa kakimu pendek sih?” kulirik dia dengan wajah sinis
“Hah...maksudmu?” ia masih saja sibuk mengusap keringat di wajahnya
“Kalau saja kakimu panjang, kau bisa berjalan mengimbangiku, dan mungkin kebiasaan telatmu bisa diobati” aku mendongak ke arah atas, pandanganku liar mencari jika ada sarang burung di ranting pohon ini.
“Geezz...” ia memasukkan sapu tangan ke saku bajunya, “Kalo begitu, tanyakan obat pemanjang kaki pada ibumu, ia dokter kan?”, ia memandangku dengan wajah penuh harap dan senyum pepsodent-nya
“Agh..Percuma...” aku menoleh ke arahnya, ia masih saja tersenyum lebar penuh harap “Hentikan senyum pepsodent itu”
Ais memang orang yang bisa tahan dengan sifatku yang tempramen, itulah yang membuatku senang bersahabat dengannya, ia tidak pernah marah dengan segala sifatku yang dingin, kaku, dan cuek, itulah kelebihan Ais, sudah 3 tahun berjalan, dan aku sadar hanya dia saat ini yang betul-betul mau mendengarkan aku berbicara.
Ia memoncongkan kedua bibirnya, menatapku dengan mata menyipit. Aku menghela nafas, dan beralih ke tasku, kuambil selembar kertas di dalamnya, ia menghentikan ekspresi wajah ngambeknya dan mulai membuka mata lebar-lebar ke arah kertas itu.
“Ini...” aku memberikan kertas itu tanpa menoleh ke arahnya
“Eh...apa ini?” ia mengambil lalu membaca lembaran itu, “Kepada Ellifa...” matanya terbelalak dan secepat kilat ia menoleh ke arahku
“Keren kan?”aku menatapnya dengan rasa sombong
“Excellent !”, ia menyambar tanganku dan menggoyangnya keatas, kebawah, kekanan, kekiri dengan sekuat tenaga,“Aaaah, El....kau memang hebat, excellent..excellent..excellent !!!”
“Geezz...” aku tertawa setengah melihat respon spontannya
Aku memenangkannya, lomba cerpen tingkat nasional, betul-betul hari yang membahagiakan, berada di tempat dan saat yang kusukai, bersama sahabat terbaikku juga, aku bisa tertawa lepas, melenyapkan beban berat yang menggantung di hatiku, perasaan bahagia yang ringan dan menyenangkan.
Aku membuka kedua telapak tanganku dan kuarahkan ke wajah Ais, “Ehm...?”
“Apa?” ia memandangku heran, ia mengangkat satu alisnya, “maksudmu...?”
“He’em...he’em...he’em”, aku menganggukkan kepalaku tiga kali, aku yakin ia tahu apa yang kumaksud
Ia menghela nafas dan mulai mengeluarkan sesuatu dari tasnya, “Hah...kalo masalah hadiah sih kau tak pernah lupa...” ia memberikan padaku kotak kecil berbentuk persegi panjang dengan kertas kado merah yang membungkus rapi benda di dalamnya.
Aku mengamati kotak itu, aku ketuk-ketuk lalu aku goncangkan sedikit
“Hei kawan, kau pikir aku akan memberimu bom? Ayo buka !!!” ia menangkupkan kedua tangannya di depan dada dan mencondongkan tubuhnya ke arahku
Aku membuka bungkusnya perlahan-lahan, aku tahu ia akan marah jika aku merobek kertas kado merah yang membungkus kotak itu, perlu waktu yang agak lama untuk membukanya dengan sistem hati-hati. Aku memejamkan mata dan kukeluarkan benda di dalam kotak persegi panjang itu. Halus.
Aku membuka mata, “Jilbab...?” pandanganku beralih ke Ais dan kembali ke jilbab yang ada di peganganku lagi
“Kaget ya?...wanita hendaknya menjaga kesucian dirinya, dan jilbab inilah yang akan memberikan perlindungan bagimu, karena aku menyayangimu, dan aku ingin kau juga dilindungi olehNya, aku memberikan ini untukmu, kau tahu maksudku kan? Aduh susah banget sih bilangnya...Gini...maksudku...”
Belum selesai ia menjelaskan, aku bersegera memeluknya, air mataku sudah mengumpul di ujung mata, aku ingin menangis, ini hadiah yang ia berikan padaku, ini hadiah yang penuh ketulusan, ini hadiah yang penuh perhatian, ini hadiah yang terbaik, tentu saja dari sahabat terbaikku, aku senang verada disaat ini, tempat ini, dan suasana ini.
“Makasih kawan...” Aku menangis dan ia menepuk-nepuk pundakku

Tidak ada komentar:

Posting Komentar