Minggu, 02 Juni 2013

Without Words 13

cr: www.tumblr.com


Author: Febryana

BGM: Crazy Love-DBSK


sorry, this update is too late, n i don't know why i take yoochun picture, hahag, just because his smiles so charming maybe, kekeke. Enjoy this part, don't forget leave comments :D

***

“Mau kemana?,” sergah Yunho yang merasa terganggu dengan Changmin yang tengah berkaca di depan cermin, selera berpakaiannya memang tak pernah salah, batin Yunho agak kesal.


“Kau sedang tidak berpikir untuk berkencan dengan gadis Indonesia, bukan?” Yunho sedikit mengancam.


Changmin menarik ujung bibirnya, mulutnya bungkam, tangannya dengan lincah menata dasi yang melingkar di lehernya, bahkan pertanyaan Yunho tak dipedulikannya.


“Dengar, aku sedang tak ingin bertengkar, jadi bisakah kau tak memasang wajah pembunuh seperti itu? Sepertinya kau kehilangan kepekaan untuk merasa bersalah, Bocah!” 


Changmin mendesah, dipandanginya bayangan Yunho dari cermin di hadapannya, ia lalu menyambar jas hitamnya dan berbalik memandang hyung-nya itu.


“Tentang kebohonganku pada Boa sunbaenim, rasanya kau sudah pasti tahu alasannya, dan kurasa aku cukup benar untuk yang satu itu,” Changmin mengaitkan kancing jasnya. Ia tahu kemana arah pembicaraan ini, pasti tidak jauh-jauh dari SMTown Jakarta yang baru saja berakhir sejam tadi.


Yunho memutar bola matanya, dirasanya Changmin sudah keterlaluan membohongi Boa di backstage tadi, tentang gangguan pencernaan itu, sungguh menggelikan, Yunho mendesis jengkel.


“Kau bukan anak-anak lagi, dan yang barusan kau lakukan, jelas itu sangat kekanak-kanakan.”


Changmin berdecak, ditatapnya mata Yunho dalam-dalam, “Kalau begitu bisakah kau percaya padaku sekarang?” 


Kini mereka berdua berdiri saling berhadapan dalam jarak selangkah, dan Yunho terpaksa agak mengangkat sedikit wajahnya, Changmin terlalu jangkung baginya.


“Bisakah kau memandangku sebagai seorang yang bisa dihandalkan, yang bisa menopangmu saat kau letih, yang selalu mendukungmu sekalipun seluruh dunia menghujatmu, yang bisa menjadi tempat pelarianmu saat kau terhimpit. Bisakah, hyung?”


Yunho mengerutkan keningnya, ini bukan pembicaraan yang diharapkannya.“Bocah, maksudku…”
 
“Aku tahu hyung. Dimatamu aku selalu menjadi anak kecil yang harus kau lindungi, aku tak pernah menyesal diperlakukan seperti itu, tapi sekali saja, bisakah kau memandangku bukan sebagai dongsaeng ringkih yang harus dikasihani? Aku dan kau, saat ini TVXQ hanya kita berdua, bukankah seharusnya akulah orang yang paling tepat untuk pelarianmu? Aku akan lebih terluka bila kau memilih orang lain untuk menumpahkan keluh kesahmu itu, dan sialnya itu menimpa Boa noona.” 

Changmin tertawa getir. “Nah, sekarang siapa yang keterlaluan?!” 


Tatapan Changmin begitu dalam, menusuk perasaan Yunho, benar, Changmin tak pernah salah, untuk beberapa detik mereka hanya berdiri terpaku, memandang satu sama lain, menyadari kalau apa yang terjadi sudah berhasil menyakiti keduanya, Yunho sadar, atas pilihannya untuk tidak membebani Changmin tak sepenuhnya bisa dibenarkan.


“Aku tak tahu, bocah, kurasa aku memang patut disalahkan atas semua ini,” ia berujar kemudian, memecah keheningan yang menggantung.


Changmin menghela nafas dan beranjak mengambil sepatunya, “Memang, dan kau harus membayarnya,” ujar Changmin sambil mengikat tali sepatunya.


“Heh?”


“Mulailah dengan berhenti memanggilku bocah!” Changmin berdiri dan meraih gagang pintu.


Kemudian pintu tertutup, Yunho tersenyum, dan bodohnya ia baru sadar kalau pertanyaan kemana dongsaeng-nya pergi belum terjawab.


***


“Sekarang sampai dimana kita?”


Changmin menghempaskan badannya ke sofa, ia melipat tangannya di depan dada, “Bagaimana kalau kau memberiku makanan dulu sebelum kita mengulas semua keruwetan ini?”


Yoochun meringis, Changmin memang tak pernah berubah, “Apa mereka tak pernah memberimu makan, Bocah?” 


Changmin meraih remote TV lalu mencari channel  dari negaranya, “Mereka ingin abs-ku tetap pada tempatnya, Hyung, dan itu menggelikan.”


Tawa Yoochun pun meledak, ia keluar dari pantry dengan membawa semangkuk ramyun, “Kurasa kau cukup menderita untuk urusan makanan.”


Changmin membelalakan matanya, ia mengeraskan volume TV, “Jae-hyung, benar-benar sudah gila!”


Yoochun yang mulai menyadarinya hanya bisa mencoba bersikap tenang, ia lalu menaruh mangkuk ramyun itu di pangkuan Changmin. “Makanlah, kalau dingin, tidak akan enak.”


Changmin meletakkan mangkuknya, saat ini baginya yang terpenting bukan urusan perut, tapi urusan Jae-hyung yang akan melakukan fanmeet di Indonesia, ia melempar tatapan bagaimana-kau-bisa-membiarkan-ini-terjadi? pada Yoochun.


“Aku tak bisa berbuat apa-apa, Changmin-ah,” Yoochun memijat tengkuknya, ia pun sudah kelelahan menghadapi orang tua yang satu itu.

“Dia itu… Semacam iri pada kalian,” bahkan ia pun tak mengerti atas sikap hyung-nya itu, berharap semoga kesimpulan yang ia ambil cukup untuk menghilangkan rasa penasaran dongsaeng-nya itu.


Changmin bergeming, ia lalu meraih mangkuk ramyun-nya, “Haah. Dasar dua orang tua menyusahkan!”


Yoochun juga ikut mendesah, mereka berdua adalah korban dari keruwetan Yunho dan Jaejoong, dan untungnya, mereka saling memahami kesulitan yang dialami masing-masing.


Keduanya terdiam untuk beberapa saat, beradu dengan pikiran masing-masing, antara lelah dan juga tak mau membiarkan ini berlarut-larut tanpa kejelasan.


“Bagaimana kalau kita biarkan saja mereka?”


“Maksudmu, Hyung? Kau tidak akan membiarkan keduanya jadi gila dan berakhir di rumah sakit jiwa, kan? Haha, itu bisa jadi lelucon paling menggelikan abad ini.”


Yoochun terkekeh geli, “Kurasa mereka hanya saling merindukan, Changmin-ah, membuat sensasi-sensasi untuk menggetarkan Cassiopeia, berharap tidak saling melupakan meskipun keduanya masih dikuasai ego masing-masing.” 

Yoochun menatap Changmin dengan serius, “Sungguh, mereka lebih kekanak-kanakan dari pada kita,” dan diakhiri dengan tawa Yoochun yang meledak ke penjuru ruangan.


Changmin terkikik, “Kurasa kau benar untuk yang satu itu.”


“Jadi bagaimana kalau kita juga mulai membuat sensasi Changmin-ah, tak selamanya YunJae berkuasa diatas kita, kita juga harus lebih membahana,” Yoochun menyeruput tehnya, “Kurasa ini bukan ide yang buruk.”


Changmin mulai penasaran dengan ide gila hyung-nya ini, “Kalau begitu apa yang akan kau lakukan? Aku berani bertaruh kau cukup gila untuk urusan seperti ini.”


“Kurasa aku akan memulainya di salah satu adegan drama terbaruku,” Yoochun melipat tangannya di depan dada, “Tapi, di bagian mana ya aku bisa melakukannya?”


Changmin sudah menghabiskan ramyun-nya, “Kau dalam masalah besar jika ratingnya turun gara-gara kegilaanmu itu.”


“Lalu, kau sendiri, apa yang akan kau lakukan?” Yoochun melempar pertanyaan pada Changmin.


Changmin mengelus-elus dagunya, “Kurasa Tokyo Dome bukan ide yang buruk.”


“Ya! Kau tak berniat membuat fans kita membabi buta lalu menghancurkan Tokyo Dome, bukan?” Yoochun menjitak kepala Changmin.


“Auch, sakit tahu!” Changmin mengelus kepalanya, “Tenang saja, Hyung. Kegilaanku masih pada batas tidak membahayakan, kau seharusnya khawatir pada kondisi mentalmu.”


Yoochun tertawa, “Kau benar, kau lebih hebat dari aku, Bocah…,” Yoochun mengelus kepala Changmin.


“Hentikan memanggilku, Bocah!”






Tidak ada komentar:

Posting Komentar