cr: beautiful-heart-love-romantic-Favim.com
Bonar
melempar handuk kering ke arahku, berhasil membangunkanku dari lamunan, aku
menatapnya kesal.
“Apa
yang kau lakukan, Kawan? Bukankah tak sepatutnya kau melamun di saat genting
seperti ini?”
Bonar
menekankan pada kata genting, kalau aku bisa menuliskannya, kata itu harus
dicetak tebal dan digaris bawahi, tentunya hanya aku yang tahu maksudnya.
“Entahlah,
situasinya sudah berbeda,” jawabku singkat.
Bonar
menghela nafas, kali ini lebih panjang, ia tak benar-benar mengerti maksud dari
kalimatku, tapi baginya situasi tak pernah bisa mengalahkan hebatnya perasaan, “Kau
sudah mempersiapkannya dari awal bulan, lalu apa yang kau khawatirkan, Kawan?
Dua hari lagi hari itu akan tiba, hari yang kau tunggu-tunggu selama dua tahun
terakhir ini, kau tak mau semuanya sia-sia kan?”
Bonar tak tahu apa-apa, aku pun tak
mau menceritakan padanya, mungkin belum, yang ia tahu hanyalah tentang
perasaanku ini, perasaan bodoh yang terlambat datang.
Aku
menatap kosong ke depan, bayangan orang itu selalu muncul selama dua tahun ini,
dan intensitasnya makin tinggi menjelang akhir bulan yang dimaksud Bonar, aku
menggeleng, berusaha menghilangkan sebentuk senyum di dalam kepalaku, aku
bangun, meninggalkan jejak tubuh pada rerumputan hijau tempatku berbaring
menatap langit, bekas melamun.
“Ayo
kita mulai lagi!” aku memungut bola yang ada di samping kakiku lalu membawanya
ke tengah lapangan.
Bonar
mendesah lagi, ia berdiri malas-malasan, “Lain kali jangan ajak aku bermain
sepak bola kalau kau hanya berniat untuk meracau tentang perasaan itu,” ia
tertawa mengejek.
Aku
merangkul pundaknya, “Hanya ini obatnya, Kawan,” aku meringis, Bonar melenguh
lemas.
***
Aku
tepekur di meja kerjaku, pukul 23.15, sudah larut malam, dan aku masih berkutat
di kantor.
“Mas,
hari ini lembur juga?”
Seorang
cleaning service berhenti di depan
mejaku, benar seminggu ini aku sering pulang larut malam, aku hanya tersenyum
dan bilang akan segera pulang sebentar lagi, mungkin lima belas menit lagi
batinku, ia lalu pamit pergi. Aku melongok cangkirku, kosong, lalu menaruhnya
kembali, enggan sekali untuk berjalan ke pantry
meramu secangkir kopi, lagi pula sebentar lagi aku akan pulang, Bonar juga tak
akan suka kalau aku terlalu lama menghabiskan waktu di kantor hanya untuk
masalah itu seminggu terakhir ini, mungkin ini tak penting untuk Bonar
dibandingkan dengan jadwal nonton bola bareng yang tak pernah kami lewatkan
selama dua tahun belakangan, tapi ini penting bagiku, sangat penting, dan genting.
Bonar tak tahu apa-apa, aku pun tak mau
menceritakan padanya.
Aku
berdiri, merapikan mejaku yang penuh kertas, memungut beberapa lembar, lalu
memasukannya ke dalam tas kerja, malam ini selesai.
***
Satu
hari lagi.
“Kau
tak pernah terlihat se-nervous ini
Tegar, rileks kawan, semuanya akan baik-baik saja,” ia kembali menyeruput
kopinya.
“Entahlah,
kurasa aku kehilangan keberanian,” entah bagaimana rupaku sekarang, tapi aku
bisa melihat Bonar menatapku kasihan.
“Keberanian
itu hanya perlu kesempatan, sialnya kau sudah melewatkannya hari ini,__dan
kuharap kau tak berpikir bodoh untuk melewatkannya lagi besok.”
Aku
tersenyum getir, “Besok?” tiba-tiba dadaku sesak, “Mustahil.”
Bonar
memegangi dahinya, kurasa dia mulai pusing sekarang, untuk urusan perasaanku
ini, memang mustahil ada jalan keluarnya kalau aku tetap saja diam. Sungguh ia tak tahu apa-apa. Hening
sejenak.
“Lalu
apa yang akan kau lakukan?” setelah berpikir keras, ia menyerah dan
mengeluarkan pertanyaan yang seperti biasanya, pertanyaan final atas segala
keruwetan ini.
“Entahlah,”
jawabku singkat, tak menyelesaikan masalah sama sekali.
“Surat-surat
itu?”
Aku
meraih cangkir kopiku, menyesapnya sampai habis. Aku bergeming.
***
Aku
tepekur di meja kerjaku, pukul 23.15, sudah larut malam, dan aku masih berkutat
di kantor.
“Mas,
hari ini lembur juga?”
Cleaning service itu menatapku heran, mungkin karena
hari ini hari Sabtu, tidak seharusnya aku menghabiskan weekend-ku di kantor, seharusnya aku berlibur atau istirahat di
rumah, aku hanya mengangguk singkat sambil tersenyum, dan ia pun kemudian
pergi.
Aku
memijit tengkukku, pegal karena terlalu banyak menunduk, terlalu banyak
menulis, hingga meja dan lantai di bawahku penuh dengan kertas, seminggu
terakhir ini, menghabiskan waktu hingga larut malam, seperti yang sering
diproteskan Bonar, hanya untuk masalah ini. Menulis surat.
Orang
bilang, dengan menulis surat, semua akan menjadi lebih mudah, mungkin tidak
bagiku, lembaran-lembaran kertas ini tak pernah bisa memudahkan urusan
perasaan, setidaknya bukan untuk saat ini, mungkin semuanya akan menjadi mudah
ketika aku berani mengirimkannya, dan seharusnya sudah kulakukan dua tahun yang
lalu, saat kau bilang kalau surat adalah benda yang amat romantis, aku
mengejekmu kekanak-kanakan dan kau akan
menggembungkan pipi, jengkel karenanya.
Sialnya,
aku baru menyadarinya sekarang, kecewa karena dulu aku tak mau mendengarkanmu
tentang ajaibnya surat itu, malah sibuk meniti karir dan bersikap santai saat
tahu kau mengirimkan suratmu kepadaku, sebuah pernyataan perasaan, dan aku
hanya menanggapinya dengan tertawa, karena kurasa kau sedang bercanda, semacam
keusilan yang biasanya kau buat tiap hari ulang tahunku. Bahkan hingga
berminggu-minggu setelahnya, aku masih saja tak peka akan itu.
***
Mobilku
tepat berhenti di depan pagar bercat hijau, aku menoleh ke pintu rumah itu,
rasanya sudah lama sekali aku tak mengetuknya, terakhir kali sebulan kemarin,
saat aku membawakanmu kue ulang tahun, dan tepat saat itu satu bulan ini tak
pernah menjadi mudah bagiku, sesak, resah, tak bisa tidur, aku sadar kalau aku
sudah kehilangan, tentang kau yang akan menikah besok, aku tak bisa berbuat
apa-apa, tentang keberanian yang ditanyakan Bonar, aku memang pengecut, dulu
maupun sekarang, tentang perasaan ini, aku hanya bisa menghela nafas, tapi
tetap saja terasa sesak, dan tentang rencanaku besok untuk melamarmu, mustahil.
Sekarang
aku berdiri di depan pintu rumahmu, membawa surat-suratku yang sudah kumasukkan
ke amplop yang lebih besar, aku tak berniat mengubah takdir, hanya saja ini hal
terakhir yang harus kulakukan untuk berdamai dengan perasaanku, hal terakhir
sebelum aku menyesal seumur hidup, aku tahu ini tak kan mengubah apapun, saat
ini aku tak mau berharap, karena nantinya aku bisa kecewa lagi untuk kedua
kalinya.
Kuletakkan
amplop itu di depan pintu rumahmu, aku melangkah mundur, membiarkan mataku
merekam ini untuk terakhir kalinya, memutar kembali senyumanmu yang selalu
ramah menyambut kedatanganku, dan aku siap untuk menyimpan semuanya, aku
membalik badan, melangkah menuju mobilku
yang terparkir di depan pagar. Aku tak kan lupa hari ini. Sungguh hanya pada Tuhan, aku serahkan urusan ini.
“Tegar?”
suaramu memecah kesunyian malam, aku mematung di tempat, aku berbalik badan,
biarlah untuk terakhir kalinya aku melihat senyuman itu. Sungguh sekali saja, ijinkan aku Tuhan.
Tapi
bukan senyuman ramahmu yang kudapati, kau malah menangis tergugu di depanku.
Author: Febryana Puspa Wardani
Tidak ada komentar:
Posting Komentar