Sabtu, 01 Juni 2013

Surat-Surat Terakhir



cr: beautiful-heart-love-romantic-Favim.com


Bonar melempar handuk kering ke arahku, berhasil membangunkanku dari lamunan, aku menatapnya kesal.
“Apa yang kau lakukan, Kawan? Bukankah tak sepatutnya kau melamun di saat genting seperti ini?”
Bonar menekankan pada kata genting, kalau aku bisa menuliskannya, kata itu harus dicetak tebal dan digaris bawahi, tentunya hanya aku yang tahu maksudnya.
“Entahlah, situasinya sudah berbeda,” jawabku singkat.
Bonar menghela nafas, kali ini lebih panjang, ia tak benar-benar mengerti maksud dari kalimatku, tapi baginya situasi tak pernah bisa mengalahkan hebatnya perasaan, “Kau sudah mempersiapkannya dari awal bulan, lalu apa yang kau khawatirkan, Kawan? Dua hari lagi hari itu akan tiba, hari yang kau tunggu-tunggu selama dua tahun terakhir ini, kau tak mau semuanya sia-sia kan?”
Bonar tak tahu apa-apa, aku pun tak mau menceritakan padanya, mungkin belum, yang ia tahu hanyalah tentang perasaanku ini, perasaan bodoh yang terlambat datang.
Aku menatap kosong ke depan, bayangan orang itu selalu muncul selama dua tahun ini, dan intensitasnya makin tinggi menjelang akhir bulan yang dimaksud Bonar, aku menggeleng, berusaha menghilangkan sebentuk senyum di dalam kepalaku, aku bangun, meninggalkan jejak tubuh pada rerumputan hijau tempatku berbaring menatap langit, bekas melamun.
“Ayo kita mulai lagi!” aku memungut bola yang ada di samping kakiku lalu membawanya ke tengah lapangan.
Bonar mendesah lagi, ia berdiri malas-malasan, “Lain kali jangan ajak aku bermain sepak bola kalau kau hanya berniat untuk meracau tentang perasaan itu,” ia tertawa mengejek.
Aku merangkul pundaknya, “Hanya ini obatnya, Kawan,” aku meringis, Bonar melenguh lemas.

***

Aku tepekur di meja kerjaku, pukul 23.15, sudah larut malam, dan aku masih berkutat di kantor.
“Mas, hari ini lembur juga?”
Seorang cleaning service berhenti di depan mejaku, benar seminggu ini aku sering pulang larut malam, aku hanya tersenyum dan bilang akan segera pulang sebentar lagi, mungkin lima belas menit lagi batinku, ia lalu pamit pergi. Aku melongok cangkirku, kosong, lalu menaruhnya kembali, enggan sekali untuk berjalan ke pantry meramu secangkir kopi, lagi pula sebentar lagi aku akan pulang, Bonar juga tak akan suka kalau aku terlalu lama menghabiskan waktu di kantor hanya untuk masalah itu seminggu terakhir ini, mungkin ini tak penting untuk Bonar dibandingkan dengan jadwal nonton bola bareng yang tak pernah kami lewatkan selama dua tahun belakangan, tapi ini penting bagiku, sangat penting, dan genting. Bonar tak tahu apa-apa, aku pun tak mau menceritakan padanya.
Aku berdiri, merapikan mejaku yang penuh kertas, memungut beberapa lembar, lalu memasukannya ke dalam tas kerja, malam ini selesai.

***

Satu hari lagi.
“Kau tak pernah terlihat se-nervous ini Tegar, rileks kawan, semuanya akan baik-baik saja,” ia kembali menyeruput kopinya.
“Entahlah, kurasa aku kehilangan keberanian,” entah bagaimana rupaku sekarang, tapi aku bisa melihat Bonar menatapku kasihan.
“Keberanian itu hanya perlu kesempatan, sialnya kau sudah melewatkannya hari ini,__dan kuharap kau tak berpikir bodoh untuk melewatkannya lagi besok.”
Aku tersenyum getir, “Besok?” tiba-tiba dadaku sesak, “Mustahil.”
Bonar memegangi dahinya, kurasa dia mulai pusing sekarang, untuk urusan perasaanku ini, memang mustahil ada jalan keluarnya kalau aku tetap saja diam. Sungguh ia tak tahu apa-apa. Hening sejenak.
“Lalu apa yang akan kau lakukan?” setelah berpikir keras, ia menyerah dan mengeluarkan pertanyaan yang seperti biasanya, pertanyaan final atas segala keruwetan ini.
“Entahlah,” jawabku singkat, tak menyelesaikan masalah sama sekali.
“Surat-surat itu?”
Aku meraih cangkir kopiku, menyesapnya sampai habis. Aku bergeming.

***

Aku tepekur di meja kerjaku, pukul 23.15, sudah larut malam, dan aku masih berkutat di kantor.
“Mas, hari ini lembur juga?”
Cleaning service itu menatapku heran, mungkin karena hari ini hari Sabtu, tidak seharusnya aku menghabiskan weekend-ku di kantor, seharusnya aku berlibur atau istirahat di rumah, aku hanya mengangguk singkat sambil tersenyum, dan ia pun kemudian pergi.
Aku memijit tengkukku, pegal karena terlalu banyak menunduk, terlalu banyak menulis, hingga meja dan lantai di bawahku penuh dengan kertas, seminggu terakhir ini, menghabiskan waktu hingga larut malam, seperti yang sering diproteskan Bonar, hanya untuk masalah ini. Menulis surat.
Orang bilang, dengan menulis surat, semua akan menjadi lebih mudah, mungkin tidak bagiku, lembaran-lembaran kertas ini tak pernah bisa memudahkan urusan perasaan, setidaknya bukan untuk saat ini, mungkin semuanya akan menjadi mudah ketika aku berani mengirimkannya, dan seharusnya sudah kulakukan dua tahun yang lalu, saat kau bilang kalau surat adalah benda yang amat romantis, aku mengejekmu kekanak-kanakan dan  kau akan menggembungkan pipi, jengkel karenanya.
Sialnya, aku baru menyadarinya sekarang, kecewa karena dulu aku tak mau mendengarkanmu tentang ajaibnya surat itu, malah sibuk meniti karir dan bersikap santai saat tahu kau mengirimkan suratmu kepadaku, sebuah pernyataan perasaan, dan aku hanya menanggapinya dengan tertawa, karena kurasa kau sedang bercanda, semacam keusilan yang biasanya kau buat tiap hari ulang tahunku. Bahkan hingga berminggu-minggu setelahnya, aku masih saja tak peka akan itu.

***

Mobilku tepat berhenti di depan pagar bercat hijau, aku menoleh ke pintu rumah itu, rasanya sudah lama sekali aku tak mengetuknya, terakhir kali sebulan kemarin, saat aku membawakanmu kue ulang tahun, dan tepat saat itu satu bulan ini tak pernah menjadi mudah bagiku, sesak, resah, tak bisa tidur, aku sadar kalau aku sudah kehilangan, tentang kau yang akan menikah besok, aku tak bisa berbuat apa-apa, tentang keberanian yang ditanyakan Bonar, aku memang pengecut, dulu maupun sekarang, tentang perasaan ini, aku hanya bisa menghela nafas, tapi tetap saja terasa sesak, dan tentang rencanaku besok untuk melamarmu, mustahil.
Sekarang aku berdiri di depan pintu rumahmu, membawa surat-suratku yang sudah kumasukkan ke amplop yang lebih besar, aku tak berniat mengubah takdir, hanya saja ini hal terakhir yang harus kulakukan untuk berdamai dengan perasaanku, hal terakhir sebelum aku menyesal seumur hidup, aku tahu ini tak kan mengubah apapun, saat ini aku tak mau berharap, karena nantinya aku bisa kecewa lagi untuk kedua kalinya.
Kuletakkan amplop itu di depan pintu rumahmu, aku melangkah mundur, membiarkan mataku merekam ini untuk terakhir kalinya, memutar kembali senyumanmu yang selalu ramah menyambut kedatanganku, dan aku siap untuk menyimpan semuanya, aku membalik badan, melangkah menuju  mobilku yang terparkir di depan pagar. Aku tak kan lupa hari ini. Sungguh hanya pada Tuhan, aku serahkan urusan ini.
“Tegar?” suaramu memecah kesunyian malam, aku mematung di tempat, aku berbalik badan, biarlah untuk terakhir kalinya aku melihat senyuman itu. Sungguh sekali saja, ijinkan aku Tuhan.
Tapi bukan senyuman ramahmu yang kudapati, kau malah menangis tergugu di depanku.

Author: Febryana Puspa Wardani

Tidak ada komentar:

Posting Komentar